Ini kisah tentang jogja, tentang saya, dan cinta.
Tentang Jogja, selalu nyaman dengan budayanya, ya, saya
selalu cinta. Ada ciri khas dari kota ini yang tidak akan bisa saya temui di
kota lain, entah seberapapun macetnya hari ini, entah seberapa seringnya angin ribut
yang terjadi, coba saja kalian tinggal disini, ya, setahun 2 tahun lah, saya
rasa kalian pasti mengerti bagaimana rasanya.
Dan saya, siapalah saya? Saya hanya mahasiswa yang bingung
dengan mimpi2nya, termajinalkan karena idealismenya sendiri, ah, siapa peduli? Ini
hidup saya. Toh saya tidak perlu jadi anda, bukan?
Hari ini malam tahun baru, tahun baru 2013, katanya.
Mungkin hampir 80% warga kota sedang berkumpul di jantung
perekonomian Jogjakarta, malioboro. Mulai dari balita, bocah ingusan, dewasa,
tua-renta, tak peduli strata sosial yang biasanya saling arogan atau dilecehkan
antara satu dengan yang lain, sepertinya tumpah ruah di sana, sama dengan
tumpah ruahnya hujan, dimana awan terlalu dermawan belakangan ini. Ruas jalan
sempit yang jadi wajah kota jogja itu, malam ini disulap jadi ruang publik
terbesar sejogja, murah meriah tak pakai bayar-bayaran tiket yang menyebalkan
itu. Malam ini jalan yang fenomenal itu diaktivasi dengan label “car free night”.
Fenomena langka memang di kota mungil ini. Semua berpesta, terompet si abang
pinnggir jalan tadi sore sekarang sudah hampir rusak lagi karena tiupan dan
remasan yang terlalu bersemangat sambut tahun baru. Ini bentuk cinta, cinta pada harapan, cinta
pada masa depan, karena tak sedikit dari mereka yang pergi berdesakan hanya
untuk sambut harapan yang akan dibawa oleh tahun 2013. Mungkin.
Di sudut kota lain, ada yang sedang bercengkrama dengan
pasangannya, melewati malam dengan saling cumbu, dengan yang bukan mahramnya. Berita
terbaru yang saya baca, penjualan alat kontrasepsi hari ini, ya di hari
pergantian tahun ini, meningkat tajam, hampir ludes di pasaran. Di malam yang
sebagian orang saling merebut harapan untuk tahun yang lebih baik, ada saja
segelintir lagi yang merayakannya dengan birahi. Tentu saja atas nama cinta,
cinta yang hina dan busuk.
Lalu saya? Tahun baru ini, apa bedanya dengan tahun yang
lalu? Hanya penanda waktu, sama sepeti bulan, minggu dan hari. Lagipula hidup saya pas-pasan, buat apa berfoya? Lagipula
masih banyak tugas kuliah yang saya anggap sakral. Ah iya, dan lagipula saya
terlalu cinta dengan kamar 3x3 ini. Diam di kontrakan absurd ini menurut saya
lebih baik daripada petantang-petenteng melawan hujan dan berdesak di salah
satu sudut kota.
Barusan saja saya selesai makan dari warung indomie, orang
sini biasa memanggilnya burjo, bubur kacang ijo, karena biasanya hampir
disetiap warung sejenis ini menyuguhkan makanan bubur kacang ijo. Saya tau
penjualnya termasuk orang yang religius, dia tidak sependapat dengan perayaan arogansi
tahun baru semacam ini. Yang membuat saya termenung bukan karena penolakannya
dengan pesta raya tahun baru. Tapi guyonannya. Begini katanya, “wih, manusia
mah pesta tahun baru pake kembang api, untung malaikat gak ikut-ikutan pesta
tahun baru, gak maenan petir”. Benar juga, manusia membakar langit dengan
manipulasi mesiu nya, berharap keindahannya bisa menyaingi bintang, tapi apa
jadinya kalau malaikat ikut merayakannya dengan membakar bumi lewat pesta
halilintar? Bagaimana jika malaikat yang berpesta meniup terompet
sangkakalanya?
Hari ini ada pro dan kontra, tentang pestapora perayaan
malam tahun baru atau merenung di kamar gelap. Saya memilih yang kedua, dan
anda tak perlu ikuti saya, saya tak perlu jadi anda.
2 comments:
Bener bro. Tapi tidak apa-apa untuk segelintir orang yang mungkin hanya bisa menyempatkan waktunya hanya untuk hari ini. Dan memang sebaiknya merenung, bercumbu dengan Allah :)
:D tentu saja, bukankah Dia juga Maha Pencemburu? salam :)
Posting Komentar