( baca Sakti atau Sakit? (1))
Dan persoalan terakhir yang ingin saya sorot adalah, apalagi kalau bukan, korupsi? Kalau dulu di rezim orba kita sering dengar selentingan koruptor itu hanya “melingkar” di ranah pemimpin tertinggi saja, sepertinya hari ini “lingkaran” korupsi sudah semakin meluas menjalar tak beraturan arah.
Mungkin untuk sebagian pelakunya, korupsi adalah sebuah jenis pekerjaan baru, sehingga fenomena korupsi menjadi suatu keniscayaan di tanah air. (agak) Bingung memang hidup di negeri taat hukum ini (katanya), pelaku kejahatan (katanya) akan dihukum seberatnya dengan adil. Tapi apa benar? Korupsi triliyunan yang menggunakan uang rakyat, jelas akan menghambat dalam proses pembangunan yang sedang digemborkan saat ini. Namun jika kita melihat beberapa vonis hakim terkait dengan masalah tindak pidana korupsi ini, kenapa rasanya vonis hakim ini tidak memberikan efek jera terhadap pelakunya? Jika melihat pada UU nomer 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dibuatkan daftar hukumannya akan menjadi seperti ini :
Dengan catatan bahwa Hakim
dan Jaksa belum tentu menuntut/ menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti
sebesar jumlah uang yang dikorupsi dan masih membingungkan atas dasar
pertimbangan apa bila maksimum denda adalah setara dengan 1 Milyar rupiah
sedangkan nilai korupsi tidak ada batasnya?
Dari tabel di atas, tipikor baru dijatuhkan pada mereka yang
melakukan penyogokan, penggelapan, dan korupsi mulai dari 5 juta rupiah! Jadi misalnya
seseorang menyuap senilai Rp. 4.999.000 saja, maka orang tersebut terbebas dari
jeratan hukum tipikor. Selain itu jika seseorang mengkorupsi dana senilai 3-100
Triliyun bahkan lebih maka denda maksimal yang akan diterimanya hanyalah denda
maksimum 1 Milyar rupiah, dengan hukuman penjara 20 tahun saja! Kita ambil
contohnya korupsi senilai 100 Triliyun, lalu denda yang harus dibayarkan hanya
senilai 1 M, apalah arti 1 M dari 100 T? orang yang korupsi tersebut masih kaya
raya dan hidupnya tidak menderita seperti kaum papa yang terlindas ganasnya
perekonomian.
Disamping itu hukuman penjara maksimal 20 tahun tidaklah setara
dengan hukuman seumur hidup, jika beban vonis 20 dijatuhkan dan dikurangi
dengan embel2 keringangan hukuman dari remisi, berkelakuan baik dan sebagainya,
berapa lama vonis hukuman penjara yang tersisa? Penyetaraan 20 tahun sebagai
hukuman penjara seumur hidup terlalu jauh dari kata adil, hukuman seumur hidup
seharusnya tidak dapat tersentuh dengan remisi, atau berkelakuan baik selama di
dalam tahanan, kalaupun tersentuh, maka tidak memberi efek apa-apa terhadap
terdakwa. Hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman penjara selama 1000 tahun!
Namun juga akan percuma kalau nilai uang yg digelapkan tidak pula dikembalikan
karena biasanya sudah “hilang” oleh proses money laundry. Maka pilihannya
adalah, koruptor harus dimiskinkan, atau main sadis sekalian seperti Cina.
Pancasila ini sedang sakit, masih terbatuk-batuk untuk
menjadi sakti lagi. Patriotisme negeri sudah kocar-kacir, pemuda selalu
berfikir dalam bentuk perjuangan fisik saja, bukan lagi melihat substansi dari ideologi
bangsa. Dia mulai ditinggalkan bangsanya yang masih terjebak dalam zaman modern
dimana bangsa lain sudah beranjak ke post-modern, sibuk memperkaya diri dengan
persaingan-persaingan yang saling meniadakan satu dengan yang lainnya. Mau jadi
apa bentuknya bangsa yang sesungguhnya kaya ini? Mau dibawa kemana alur
peradabannya? Dan mau sampai kapan seperti ini?
Bukan masalah kritikan yang tak pernah berujung nyaman
tentang pembangunan, bukan pula tentang miskinnya pemilihan solusi di Negara
yang masih banyak orang miskinnya. Ini adalah sebuah keharusan, kita sudah lama
dipanggil untuk benahi sistem bobrok di negeri kaya raya ini.
0 comments:
Posting Komentar