Sakti atau Sakit? (2)

17 Januari 2013 0 comments


( baca Sakti atau Sakit? (1))

Dan persoalan terakhir yang ingin saya sorot adalah, apalagi kalau bukan, korupsi? Kalau dulu di rezim orba kita sering dengar selentingan koruptor itu hanya “melingkar” di ranah pemimpin tertinggi saja, sepertinya hari ini “lingkaran” korupsi sudah semakin meluas menjalar tak beraturan arah.

Mungkin untuk sebagian pelakunya, korupsi adalah sebuah jenis pekerjaan baru, sehingga fenomena korupsi menjadi suatu keniscayaan di tanah air. (agak) Bingung memang hidup di negeri taat hukum ini (katanya), pelaku kejahatan (katanya) akan dihukum seberatnya dengan adil. Tapi apa benar? Korupsi triliyunan yang menggunakan uang rakyat, jelas akan menghambat dalam proses pembangunan yang sedang digemborkan saat ini. Namun jika kita melihat beberapa vonis hakim terkait dengan masalah tindak pidana korupsi ini, kenapa rasanya vonis hakim ini tidak memberikan efek jera terhadap pelakunya? Jika melihat pada UU nomer 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi  dan dibuatkan daftar hukumannya akan menjadi seperti ini :
(Pradipto, 2012, dalam Sekolah Anti Korupsi 28-29 September 2012 FEB UGM)

Dengan catatan bahwa Hakim dan Jaksa belum tentu menuntut/ menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti sebesar jumlah uang yang dikorupsi dan masih membingungkan atas dasar pertimbangan apa bila maksimum denda adalah setara dengan 1 Milyar rupiah sedangkan nilai korupsi tidak ada batasnya?

Dari tabel di atas, tipikor baru dijatuhkan pada mereka yang melakukan penyogokan, penggelapan, dan korupsi mulai dari 5 juta rupiah! Jadi misalnya seseorang menyuap senilai Rp. 4.999.000 saja, maka orang tersebut terbebas dari jeratan hukum tipikor. Selain itu jika seseorang mengkorupsi dana senilai 3-100 Triliyun bahkan lebih maka denda maksimal yang akan diterimanya hanyalah denda maksimum 1 Milyar rupiah, dengan hukuman penjara 20 tahun saja! Kita ambil contohnya korupsi senilai 100 Triliyun, lalu denda yang harus dibayarkan hanya senilai 1 M, apalah arti 1 M dari 100 T? orang yang korupsi tersebut masih kaya raya dan hidupnya tidak menderita seperti kaum papa yang terlindas ganasnya perekonomian. 

Disamping itu hukuman penjara maksimal 20 tahun tidaklah setara dengan hukuman seumur hidup, jika beban vonis 20 dijatuhkan dan dikurangi dengan embel2 keringangan hukuman dari remisi, berkelakuan baik dan sebagainya, berapa lama vonis hukuman penjara yang tersisa? Penyetaraan 20 tahun sebagai hukuman penjara seumur hidup terlalu jauh dari kata adil, hukuman seumur hidup seharusnya tidak dapat tersentuh dengan remisi, atau berkelakuan baik selama di dalam tahanan, kalaupun tersentuh, maka tidak memberi efek apa-apa terhadap terdakwa. Hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman penjara selama 1000 tahun! Namun juga akan percuma kalau nilai uang yg digelapkan tidak pula dikembalikan karena biasanya sudah “hilang” oleh proses money laundry. Maka pilihannya adalah, koruptor harus dimiskinkan, atau main sadis sekalian seperti Cina.

Pancasila ini sedang sakit, masih terbatuk-batuk untuk menjadi sakti lagi. Patriotisme negeri sudah kocar-kacir, pemuda selalu berfikir dalam bentuk perjuangan fisik saja, bukan lagi melihat substansi dari ideologi bangsa. Dia mulai ditinggalkan bangsanya yang masih terjebak dalam zaman modern dimana bangsa lain sudah beranjak ke post-modern, sibuk memperkaya diri dengan persaingan-persaingan yang saling meniadakan satu dengan yang lainnya. Mau jadi apa bentuknya bangsa yang sesungguhnya kaya ini? Mau dibawa kemana alur peradabannya? Dan mau sampai kapan seperti ini?

Bukan masalah kritikan yang tak pernah berujung nyaman tentang pembangunan, bukan pula tentang miskinnya pemilihan solusi di Negara yang masih banyak orang miskinnya. Ini adalah sebuah keharusan, kita sudah lama dipanggil untuk benahi sistem bobrok di negeri kaya raya ini.

0 comments:

Posting Komentar