Entah apanya yang bobrok, padahal dari semenjak jadi bocah
ingusan sudah diajarkan pendidikan moral pancasila yang sakti itu, atau
pancasila yang sakit itu? Sepertinya sudah lama sang garuda pancasila dirundung
demam tinggi yang tak berkesudahan. 67
tahun katanya merdeka, 32 tahun dijadikan boneka kekuasaan, 15 tahun masih
merangkak dalam keterpurukan, apalagi kalau bukan keterpurukan yang diinisiasi
dari pengaburan bentuk murni ideologi negeri, 12 maret 1966.
Negeri kaya ini baru mengenyam “pesta” kemerdekaannya, belum
esensi dari merdeka itu sendiri, 20 tahun di awal-awal proklamasi kita memang “merdeka”
tapi tidak pula merdeka-merdeka betul, kemerdekaan yang baru mau memulai
“karir”nya.
Coba lihat birokrasi negeri hari ini dan segala masalah yang
dibesar-besarkan media tentangnya, mulai dari dualisme persatuan sepakbola yang
saling egois yang mungkin sudah terlalu renta untuk menanamkan jiwa
kepahlawanan, bukan lagi tentang mengalah demi persatuan, tapi sudah berubah
menjadi tentang saling mengalahkan demi jabatan, dan apalagi kalau
ujung-ujungnya bukan uang? Sempat gempar di media tentang biaya pernikahan yang
melambung di sebuah lembaga pemerintahan, harganya bisa naik 100% bahkan bisa
sampai dengan kelipatan tak hingga, membuat semua yang bermain dibelakangnya
kembung dengan yang namanya –dan lagi-lagi- uang.
Disela-selanya, ada
masalah Molina, tentu ini bukan nama wanita, Mobil Listrik Nasional yang sudah
sedari lama digembor-gemborkan para “artis” birokrasi, belakangan sedang heboh
dengan kecelakaan yang menimpa “ferrari” seharga kurang lebih 1,5 M itu, angka
yang fantastis untuk sebuah mobil ciptaan anak bangsa. Membanggakan memang,
apalagi kalau sampai bisa dikonsumsi secara global, namun dalam kasusnya,
sepertinya kita harus menahan (lagi) ekspektasi yang cukup tinggi tentang
persoalan kinerja alat transportasi prestige Ini. Selain berhadapan dengan
masalah performa, ternyata juga “artis” birokrasi yang senang menjadi sorotan seantero
nusantara ini tersandung kasus penggunaan nomor polisi yang melanggar hukum,
atau mungkin (sengaja) melawan hukum?
Beralih ke masalah ibukota, ibukota yang pernah punya nama Batavia
ini baru saja memilih “nakhoda”nya pada 15 Oktober tahun 2012 lalu baru saja
kemarin dbuat “pusing” dengan dualisme pemikiran sang “kapten” yang awalnya
dengan tegas menolak pembangunan 6 ruas tol dalam kota, tiba-tiba saja
menyetujui perihal rencana tersebut. Sontak saja keputusan yang 180 derajat berubah
ini menyulut perhatian masa jakarta, atau bahkan seantero nusantara yang
mempertanyakan konsistensi sang pemimpin dan keseriusannya dalam “bermain” janji.
Sebelum keputusan kontroversial ini keluar, pimpinan ibukota sempat melakukan
rapat tertutup dengan beberapa lembaga terkait rencana pembangunan 6 ruas tol
ini. Dengan adanya masalah ini, mulai banyak yang berspekulasi, apakah memang
sekuat itu pengaruh kapitalisme dalam melancarkan aksi politiknya? Dan apakah
semua “pemimpin” itu sama saja?
Lalu kita alihkan lagi topik yang tak kalah seru, pemerkosaan.
Ini tentang hukuman bagi para pelaku
pemerkosa, dan tentu saja ini bukan lelucon. Namun masih hangat rasanya guyonan
sembrono sang calon hakim agung yang sempat “keseleo lidah” dalam menjawab
pertanyaan fit and proper test oleh
komisi III DPR RI. Sepertinya akan lebih terdengar konyol kalau statement yang
terkesan melecehkan (dan memang melecehkan) korban pemerkosaan ini bisa begitu
saja keluar karena ingin mencairkan suasana yang cukup tegang dalam test
bergengsi tersebut. Bagaimana bisa perkataan yang bersinggungan dengan moral tersebut
bisa keluar dari mulut calon orang yang paling dianggap bijaksana di negeri
ini? Kalaulah dalam kondisi didesak dalam test saja beliau sudah gugup dan
akhirnya mengeluarkan celoteh yang tak perlu, bagaimana dengan kinerjanya kelak
yang langsung berhadapan dengan tekanan masalah-masalah yang menuntut
kebiksanaannya? Apa juga harus ada “celoteh-celoteh” yang selanjutnya untuk
mencairkan suasana?
(bersambung)
0 comments:
Posting Komentar