Sakti atau Sakit? (1)

17 Januari 2013 0 comments


Entah apanya yang bobrok, padahal dari semenjak jadi bocah ingusan sudah diajarkan pendidikan moral pancasila yang sakti itu, atau pancasila yang sakit itu? Sepertinya sudah lama sang garuda pancasila dirundung demam tinggi yang tak berkesudahan.  67 tahun katanya merdeka, 32 tahun dijadikan boneka kekuasaan, 15 tahun masih merangkak dalam keterpurukan, apalagi kalau bukan keterpurukan yang diinisiasi dari pengaburan bentuk murni ideologi negeri, 12 maret 1966. 

Negeri kaya ini baru mengenyam “pesta” kemerdekaannya, belum esensi dari merdeka itu sendiri, 20 tahun di awal-awal proklamasi kita memang “merdeka” tapi tidak pula merdeka-merdeka betul, kemerdekaan yang baru mau memulai “karir”nya.

Coba lihat birokrasi negeri hari ini dan segala masalah yang dibesar-besarkan media tentangnya, mulai dari dualisme persatuan sepakbola yang saling egois yang mungkin sudah terlalu renta untuk menanamkan jiwa kepahlawanan, bukan lagi tentang mengalah demi persatuan, tapi sudah berubah menjadi tentang saling mengalahkan demi jabatan, dan apalagi kalau ujung-ujungnya bukan uang? Sempat gempar di media tentang biaya pernikahan yang melambung di sebuah lembaga pemerintahan, harganya bisa naik 100% bahkan bisa sampai dengan kelipatan tak hingga, membuat semua yang bermain dibelakangnya kembung dengan yang namanya –dan lagi-lagi- uang. 

Disela-selanya, ada masalah Molina, tentu ini bukan nama wanita, Mobil Listrik Nasional yang sudah sedari lama digembor-gemborkan para “artis” birokrasi, belakangan sedang heboh dengan kecelakaan yang menimpa “ferrari” seharga kurang lebih 1,5 M itu, angka yang fantastis untuk sebuah mobil ciptaan anak bangsa. Membanggakan memang, apalagi kalau sampai bisa dikonsumsi secara global, namun dalam kasusnya, sepertinya kita harus menahan (lagi) ekspektasi yang cukup tinggi tentang persoalan kinerja alat transportasi  prestige Ini. Selain berhadapan dengan masalah performa, ternyata juga “artis” birokrasi yang senang menjadi sorotan seantero nusantara ini tersandung kasus penggunaan nomor polisi yang melanggar hukum, atau mungkin (sengaja) melawan hukum?

Beralih ke masalah ibukota, ibukota yang pernah punya nama Batavia ini baru saja memilih “nakhoda”nya pada 15 Oktober tahun 2012 lalu baru saja kemarin dbuat “pusing” dengan dualisme pemikiran sang “kapten” yang awalnya dengan tegas menolak pembangunan 6 ruas tol dalam kota, tiba-tiba saja menyetujui perihal rencana tersebut. Sontak saja keputusan yang 180 derajat berubah ini menyulut perhatian masa jakarta, atau bahkan seantero nusantara yang mempertanyakan konsistensi sang pemimpin dan keseriusannya dalam “bermain” janji. Sebelum keputusan kontroversial ini keluar, pimpinan ibukota sempat melakukan rapat tertutup dengan beberapa lembaga terkait rencana pembangunan 6 ruas tol ini. Dengan adanya masalah ini, mulai banyak yang berspekulasi, apakah memang sekuat itu pengaruh kapitalisme dalam melancarkan aksi politiknya? Dan apakah semua “pemimpin” itu sama saja?

Lalu kita alihkan lagi topik yang tak kalah seru, pemerkosaan.  Ini tentang hukuman bagi para pelaku pemerkosa, dan tentu saja ini bukan lelucon. Namun masih hangat rasanya guyonan sembrono sang calon hakim agung yang sempat “keseleo lidah” dalam menjawab pertanyaan fit and proper test oleh komisi III DPR RI. Sepertinya akan lebih terdengar konyol kalau statement yang terkesan melecehkan (dan memang melecehkan) korban pemerkosaan ini bisa begitu saja keluar karena ingin mencairkan suasana yang cukup tegang dalam test bergengsi tersebut. Bagaimana bisa perkataan yang bersinggungan dengan moral tersebut bisa keluar dari mulut calon orang yang paling dianggap bijaksana di negeri ini? Kalaulah dalam kondisi didesak dalam test saja beliau sudah gugup dan akhirnya mengeluarkan celoteh yang tak perlu, bagaimana dengan kinerjanya kelak yang langsung berhadapan dengan tekanan masalah-masalah yang menuntut kebiksanaannya? Apa juga harus ada “celoteh-celoteh” yang selanjutnya untuk mencairkan suasana?

(bersambung)

0 comments:

Posting Komentar