Sisi Lain Garis Desa-Kota.

28 Januari 2013 0 comments


http://static.liputan6.com/200909/090910gaya_desakota.jpg
Sudah lama kita berada dalam arus pembangunan yang tak mau mengenal lelah, yang masih bersemangat mengejar ketertinggalannya. Kota-kota di nusantara bergejolak mencari jati dirinya yang masih bias, bergerak mencari kerapatan dan kepadatan dalam dirinya sendiri. Kota yang riuh dengan bermacam aktivitas yang kadang sulit dimengerti.

Tahun 2012 lalu, kurang lebih 54% penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan (sumber: kompas) dan diprediksikan akan terus meningkat setiap tahunnya. Banyak dari penduduk desa yang terdorong ke kota, atau mungkin tersedot karena manisnya geliat perekonomian kota. Berbondong meninggalkan desanya, mencari penghidupan yang-semoga saja-bisa lebih baik dan layak.

Belum meratanya pendidikan yang ada di Indonesia membuat beberapa kaum urbanis compang-camping menengadah peradaban kota yang jauh menembus batas pedesaan mereka, namun disamping itu dengan masif nya masyarakat pedesaan yang secara masal masuk melingkari berbagai penjuru kota, menciptakan suasana komunal yang semakin sempit setiap harinya di dalam kota. Melangitnya harga lahan perkotaan dan kebutuhan akan uang yang tidak bisa tergantikan menjadikan kaum-kaum urbanis yang belum siap di gembleng kerasnya ibukota ini terpaksa mencari-cari dan mencuri-curi lahan yang “loyo” dari pengamatan pemerintah. Disamping itu, ketidaksigap-an pemerintah dalam mengelola imigran yang masuk juga bisa membuyarkan rencana penataan ruang-ruang kota, akibat banyaknya kampung-kampung kota yang tumbuh secara organis semaunya sendiri. 

Kota yang identik dengan peradaban dan teknologinya, belakangan lebih sering menyuguhkan keberadaan alam yang tidak diinginkan (bencana alam) dibanding dengan peradabannya. Desa yang biasa menyuguhkan pemandangan alamnya, kini bisa kita temui di perkotaan walaupun dengan fenomena yang berbeda. Kota yang seyogyannya bisa memberikan keamanan dan kenyamanan penduduknya, hari ini (masih) belum berhasil. Disini, garis kota bergeser menjadi desa, tidak jelas mana yang seharusnya didesa dan di kota.

Seperti yang dikatakan oleh Mumford (1938) setiap kota selalu berubah sesuai dengan awal permulaannya sampai pada kematiannya, dari eopolis (kota baru) – polis – metropolis – megalopolis – tiranopolis – sampai pada necropolis. Seperti halnya perkembangan yang diutarakan Mumford, kota-kota d tanah air juga sudah mulai bergerak menjadi metropolis-metropolis baru. Gejala yang sekarang sedang menjamur adalah ekspansi secara horizontal dari metropolitan ini. Garis batas antara desa dan kota tidak terpampang jelas, selain itu kepadatan informasi tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa bagi hanya untuk penghuni kota.

Selain itu kita juga bisa berbicara tentang urbanitas pedesaan dan rulalitas perkotaan, yaitu kondisi-kondisi perkotaan yang ada di desa, dan kondisi-kondisi pedesaan yang ada di kota. Hasilnya adalah hilangnya batas ruang antara kota dan desa di dunia yang serba gobal ini. Sekarang semakin mudah bagi setiap orang untuk melintas batas kota dan desa tanpa merasakan perbedaan mendasar antara keduanya.

Maka sekali lagi, garis batas desa-kota atau kota-desa -diluar dari dari batas teritorialnya- benar-benar membingungkan untuk dijelaskan.


Daftar Bacaan:
Kusumawijaya, Marco. 2006. Kota Rumah Kita. Jakarta : Borneo
Mumford, Lewis dalam Rahardjo. 1983. Pekembangan Kota dan Permasalahannya.  Jakarta : PT Bina Aksara

0 comments:

Posting Komentar