http://static.liputan6.com/200909/090910gaya_desakota.jpg |
Sudah lama kita berada dalam arus pembangunan yang tak mau
mengenal lelah, yang masih bersemangat mengejar ketertinggalannya. Kota-kota di
nusantara bergejolak mencari jati dirinya yang masih bias, bergerak mencari
kerapatan dan kepadatan dalam dirinya sendiri. Kota yang riuh dengan bermacam aktivitas
yang kadang sulit dimengerti.
Belum meratanya pendidikan yang ada di Indonesia membuat
beberapa kaum urbanis compang-camping menengadah peradaban kota yang jauh
menembus batas pedesaan mereka, namun disamping itu dengan masif nya masyarakat
pedesaan yang secara masal masuk melingkari berbagai penjuru kota, menciptakan
suasana komunal yang semakin sempit setiap harinya di dalam kota. Melangitnya
harga lahan perkotaan dan kebutuhan akan uang yang tidak bisa tergantikan
menjadikan kaum-kaum urbanis yang belum siap di gembleng kerasnya ibukota ini
terpaksa mencari-cari dan mencuri-curi lahan yang “loyo” dari pengamatan
pemerintah. Disamping itu, ketidaksigap-an pemerintah dalam mengelola imigran
yang masuk juga bisa membuyarkan rencana penataan ruang-ruang kota, akibat
banyaknya kampung-kampung kota yang tumbuh secara organis semaunya sendiri.
Kota yang identik dengan peradaban dan teknologinya,
belakangan lebih sering menyuguhkan keberadaan alam yang tidak diinginkan (bencana
alam) dibanding dengan peradabannya. Desa yang biasa menyuguhkan pemandangan
alamnya, kini bisa kita temui di perkotaan walaupun dengan fenomena yang
berbeda. Kota yang seyogyannya bisa memberikan keamanan dan kenyamanan
penduduknya, hari ini (masih) belum berhasil. Disini, garis kota bergeser
menjadi desa, tidak jelas mana yang seharusnya didesa dan di kota.
Seperti yang dikatakan oleh Mumford (1938) setiap kota selalu
berubah sesuai dengan awal permulaannya sampai pada kematiannya, dari eopolis
(kota baru) – polis – metropolis – megalopolis – tiranopolis – sampai pada necropolis.
Seperti halnya perkembangan yang diutarakan Mumford, kota-kota d tanah air juga
sudah mulai bergerak menjadi metropolis-metropolis baru. Gejala yang sekarang
sedang menjamur adalah ekspansi secara horizontal dari metropolitan ini. Garis batas
antara desa dan kota tidak terpampang jelas, selain itu kepadatan informasi
tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa bagi hanya untuk penghuni kota.
Selain itu kita juga bisa berbicara tentang urbanitas
pedesaan dan rulalitas perkotaan, yaitu kondisi-kondisi perkotaan yang ada di
desa, dan kondisi-kondisi pedesaan yang ada di kota. Hasilnya adalah hilangnya
batas ruang antara kota dan desa di dunia yang serba gobal ini. Sekarang semakin
mudah bagi setiap orang untuk melintas batas kota dan desa tanpa merasakan
perbedaan mendasar antara keduanya.
Maka sekali lagi, garis batas desa-kota atau kota-desa -diluar
dari dari batas teritorialnya- benar-benar membingungkan untuk dijelaskan.
Daftar Bacaan:
Kusumawijaya, Marco. 2006. Kota Rumah Kita. Jakarta : Borneo
Mumford, Lewis dalam Rahardjo. 1983. Pekembangan Kota dan Permasalahannya. Jakarta : PT Bina Aksara
0 comments:
Posting Komentar