#PLANNESIA

14 Februari 2012 0 comments

Postingan kali ini merupakan pengembangan dari twit-twit saya beberapa waktu lalu tentang #Plannesia, dikasih nama Plannesia, dengan maksud Planning for Indonesia. Pemikiran awalnya tentu saja menyoroti tentang feedback masyarakat mengenai pembangunan dan perencanaan di Bumi Pertiwi ini.


Jika kita lihat lagi, banyak dari disiplin ilmu yang menjadikan teori-teori barat sebagai acuan pembelajaran, namun yang menjadi miris adalah ketika pemikiran kita sudah terlanjur “terjiplak” dengan cara-cara dan model teori disana. Kita, Indonesia tidak sama dengan mereka. Budaya barat dan budaya Nusantara jelas sekali berbeda. Nusantara, Indonesia, punya rasa sosial (guyub) yang lebih tinggi daripada negara lain, siapapun pasti tahu masyarakat Indonesia ramah dan murah senyum, modal dasar untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, rukun, damai dan guyub. Rasa guyub (berkelompok), baru bisa didapatkan dari lingkungan yang mereka kenal, memiliki ciri khas, bukan dengan lingkungan baru yang asing, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki satu dengan yang lain dan tentu saja dengan ke-ciri-khas-an mereka. Para perencanaan dewasa ini tidak melihat fenomena tersebut, kita sepertinya terlalu menyeragamkan kultur dan budaya dalam prencanaannya, yang jelas-jelas tidak bisa disamakan. Karena ketika menjadi sesuatu yang sama (homogeny), maka ke-ciri-khas-an (jati diri) akan hilang. Kenyataannya di lapangan, ciri khas Nusantara sendiri seolah dipaksa untuk mengikuti ciri khas barat (luar), tentu saja dampaknya sekarang ke-khas-an Indonesia yang mulai hilang, budaya mulai luntur. 



http://4.bp.blogspot.com/
Contoh kongkritnya bisa kita lihat dari model perumahan, perumahan sekarang banyak yang dibuat seragam, entah dengan konsep militer atau konsep ekonomis, namun yang ada adalah visual yang monoton, terkesan sempit, sehingga keanekaragaman menjadi sesuatu yang mahal. Rumah dengan atap joglo misalnya, ataupun dengan konsep rumah panggung, bukannya tidak sesuai tempat tapi dilihat  dari manfaat dan kegunaannya. Rumah dengan atap joglo yang merupakan ciri khas dari model rumah jawa, mempunyai visual yang lebih “ramah” dan lebih menunjukabn ke-Indonesia-annya jika dibandingkan dengan rumah-rumah model minimalis atau model modern lainnya. Rumah panggung pun demikian, walaupun awalnya rumah panggung ini untuk wilayah pantai atau untuk daerah yang sering tergenang air, tapi tidak ada salahnya menerapkan di kota, bagian bawah rumah yang tidak tertutup semen, dapat berguna untuk menyerap limpasan air hujan, meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap air, hal-hal seperti ini yang dipandang kuno yang padahal merupakan karya budaya bangsa yang kini hampir punah. 
http://kemoning.info/blogs/
http://hum.lss.wisc.edu/

Mungkin hal inilah yang kurang -bahkan mungkin tidak- disukai oleh masyarakat, ciri-khas budaya yang membuat mereka nyaman tidak ada, perencanaan yang bersifat pro-rakyat sulit ditemukan, akibatnya saat sudah terlalu lama terjadi benturan dan penolakan, maka apa yang direncakan tidak bisa selamanya dipaksakan. Sepertinya kita terlalu "wah" melihat cara Negara barat membangun kotanya, walaupun tidak ada salahnya belajar dari sana, tapi sekarang sudah waktunya Indonesia berkarya. Entah kenapa jika melihat dari hasil perencanaan saat ini dan masa lalu malah tersuguhi pemandangan yang jelas perbeda, saat ini rencana terlihat kaku, “saklek”, tidak ada fleksibilitas, harga mati, sehingga hasilnya pun seperti bukan dibuat untuk manusia, bandingkan dengan perencanaan kuno oleh nenek moyang kita dulu, semuanya terasa nyaman, manusiawi dan masuk akal, masyarakat bisa memiliki nilai social yang tinggi, mudah saja bradaptasi dengan lingkungan, bukan arogansi memiliki perekonomian yang tinggi, namun rasa social yang benar-benar dibentuk dari hati.

Intinya, Indonesia butuh konsep perencanaan yang lebih "Nusantara" untuk membahagiakan rakyatnya. Konsep yang pro kepada rakyat kecil, bukan pada segelintir kaum kapitalis, konsep yang mendengarkan keluh-kesah warganya, bukan yang hanya memandang warga dari sudut jendela kantornya, konsep dengan pemerintahan yang mau duduk satu meja dengan rakyatnya, bukan pemerintah yang “tak mau merasa kotor” turun kebawah melihat warganya. Konsep yang menjunjung tinggi nilai sejarah dan budaya bangsanya, bukannya menjual dan tunduk dibawah kaki swasta. #Plannesia

0 comments:

Posting Komentar