Apalah Kota, kalau bukan penduduknya (2)

7 Februari 2012 0 comments

Menginat posting sebelumnya, bicara kota, pastilah bicara rakyatnya, seperti yang diungkapkan Bambang Heryanto dalam bukunya: Roh dan Citra Kota (Briliant Internasional, 2011) : “Bentuk kota adalah wujud terakhir dari akumulasi peningkatan jumlah penduduk, prilaku, kegiatan serta kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat warganya”. Rakyat, harusnya selalu menjadi urutan nomer wahid dalam andilnya membentuk kota, namun yang terjadi sekarang ini adalah belum siap dan tanggapnya pemerintah dengan metode perencanaan Bottom Up.



 Ilustrasi : Rapat Koordinasi Pemerintah


Bukankah prinsip perencanaan dan pembangunan daerah adalah untuk kepentingan rakyat? Jika demikian, maka setidaknya pemerintah harus lebih memperhatikan nilai-nilai social-ekonomi dan budaya yang ada di masyarakat. Di Negara maju seperti Inggris, ternyata sudah dari lama menyadari fenomena pembangunan ini, tahun 1964 pemerintah Inggris mendirikan Planning Advisory Group(PAG), yang bertujuan untuk menjamin maksud dan rencana dari badan-badan perencanaan terpenuhi dengan memuaskan. Mereka menyatakan bahwa, perlu adanya pemahaman dari pihak masyarakat baik tentang tujuan utama dari perencanaan maupun dampak dari policy yang ditimbulkan. Pemahaman ini hanya akan tercapai jika masyarakat turut serta dalam proses perencanaan sedari awal. Proses perencanaan sama saja dengan membeli barang, kita perlu tahu kualitas barang yang akan kita beli dan kita gunakan, seperti hal lainnya jika kita menitipkan barang yang kita mau pada orang lain, namun saat barang itu datang ternyata hasil dan kenyataannya jauh dari apa yang kita harapkan dan kita mimpikan. Begitu pula dengan rencana, di saat rencana itu sebagai produk, maka masyarakat akan selalu menjadi  konsumennya, “pembeli adalah raja”, slogan yang pas jika dikaitkan dan diibaratkan dengan contoh yang telah disebutkan tadi, biarpun demikian sama eperti halnya kegiatan ekonomi, pasarpun harus tetap dikendalikan dan dipantau agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dalam hal ini yang dianggap sebagai pengendali pasar adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan sekaligus perencana, sehingga hasilnya nanti sesuai dengan apa yang diharapkan dan diinginkan masyarakat.


 Ilustrasi : Musyawarah dengan Masyarakat
Perencanaan Bottom Up, yang paling dikenal sebagai perencanaan yang manusiawi dan masuk akal, perencanaan yang memanusiakan-manusia, masyarakat tidak dianggap sebagai boneka yang bisa digerakan sesuka hati penguasa, namun sebagai tujuan dan objek utama dalam keberlangsungan kegiatan kota. Hidup dalam demokrasi, tentu perlu melihat dan memperhatikan hak-hak khalayak ramai, baik si tua, muda, si miskin dan kaya memiliki haknya dalam membangun tempat tinggalnya, mengaspirasikan suaranya untuk pembangunan. Jangankan manusia, binatang saja selalu mencari tempat tinggal yang menurut mereka paling nyaman, merubahnya kemudian menjadikannya sedemikian rupa hingga layak untuk ditempati dan membuat koloni mereka sendiri, oleh karena itu ketika tempat tinggal mereka dirusak, otomatis mereka akan menjaga tempat tinggal, karena punya rasa memiliki akan tempat tinggal mereka. Perencanaan yang melibatkan masyarakat dalam prosesnya bukannya tidak ada, namun kurang maksimal dan terkesan sebagai formalitas saja, banyaknya istilah yang kurang “ramah” di telinga masyarakat malah sepertinya sengaja dibuat agar menciptakan kesan “paling tau” dan “paling berpedidikan” sehingga dalam komunikasinya pun menjadi sulit, di lain pihak, masyarakat pun belum tersadarkan betapa pentingnya aspirasi mereka dalam proses pembangunan, masih banyak warga yang diam saja saat ditanya tentang tanggapan dan usulannya, banyak warga yang beranggapan “daripada bertanya, nanti disangka bodoh, lebih baik diam saja”, inilah kadang yang membuat pemerintah melanggengkan pemahamannya bahwa “diam berarti setuju”, padahal jika diperhatikan dan lebih peka lagi, bukan seperti itu yang diinginkan warga dan perlu pendekatan yang lebih dalam lagi. 

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat saling membuka mata, perwujudan kota yang baik merupakan hal yang paling penting dalam keberlangsungan hidup yang lebih baik dalam segi social, ekonomi, dan budaya, sehingga apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dalam Pancasila, dapat tercapai. Indonesia Bisa!!


Tamat.



Daftar pustraka:
Heryanto, B. (2011). Roh dan Citra Kota. Surabaya. Brilian Internasional
Budihardjo, E. (1983). Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung. Alumni
Budihardjo, E. (1997). Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan. Bandung. Alumni
Santoso, J. (2006). Menyiasati Kota Tanpa Warga. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia

0 comments:

Posting Komentar