Garuda Didadaku. Dimana Pemerintahku?

27 Februari 2012 0 comments

Tulisan tentang sedikit sekali kisah dari salah satu kehidupan belakang layar, batas negara.

Bukan mau mereka, hidup di ujung negeri. Siapa yang tau? Saat mereka lahir sudah begitu saja mereka berada di tapal batas.

Hidup susah, siapa yang mau? Tapi, apa mau dikata?  Mereka sudah terbiasa dan harus terbiasa dengannya, “tak apa”, itu kata mereka.

Kota, ada apa dikota? Mengapa banyak yang ingin kesana? Tidak, bukannya mereka tidak mau kehidupan yang lebih baik, harta, tapi untuk apa? Kota, terlalu banyak hal yang tidak mereka mengerti di dalamnya. Disini, di sisa-sisa penghujung negeri ada “mereka-mereka” yang lainyang selalu menabur senyum, yang masih mengerti dengan kata “peduli”, polos, lugu, yang mereka tau, Tuhan selalu bersama mereka. Asal perutnya, perut anak-anaknya, perut keluarganya sudah cukup merasakan kenyang saja, sudah jadi anugerah dari Sang Pencipta, syukur, hal yang mungkin sudah lama orang kota lupakan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLMF1lQxbHwkKbEBsWFwk-cbyngBK9swGz_w-vPNrtpgjX3S8uHFTtEOVUFn_kb2m6wnCueau4dDD-zeBR4ndr78gT2wtB_i6TTkKksNcoDboVpxIVPZ1XvoaNBxzwHF_AFhuYALTF7rlZ/s1600/33613_167198896630474_100000210937996_630515_4950331_n.jpg

Ada kisah guru, yang benar-benar guru, yang bukan tentang cari kekayaan melulu, hidup ditengah hutan raya, dengan sungai besar sebagai urat nadinya, mengajar, mengabdikan diri. Ada jarak yang harus ditempuh dari rumah hingga ke tempatnya mengajar, tentu bukan jalan mulus beraspal yang terurus, tetapi air, ya, sungai. Bahkan untuk mengabdikan dirinya, membagi ilmunya, harus sesulit itu.

4.bp.blogspot.com/_S4-Pcx67fFk/SWrcx4PU4FI/AAAAAAAACU0/U0B9s60k3ZU/s320/kuala+tembeling.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8_mQGfskkvgAK0I6ESGKAG0Ysg19jJUOzp1Muybf-1ylP_cMAOzt7Y6OzE50JuPChPT_gQH1P7R4p66BbSURcJ5cpBhXfu8sGM7f4Jb9ZglZGqIuZdtTawt2YYoKYBNW9uBfGnjnIT-w/s1600/image001.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLMF1lQxbHwkKbEBsWFwk-cbyngBK9swGz_w-vPNrtpgjX3S8uHFTtEOVUFn_kb2m6wnCueau4dDD-zeBR4ndr78gT2wtB_i6TTkKksNcoDboVpxIVPZ1XvoaNBxzwHF_AFhuYALTF7rlZ/s1600/33613_167198896630474_100000210937996_630515_4950331_n.jpg
 
Ah…bukan itu saja ternyata penderitaan yang dinikmati para pengabdi negeri ini, haruslah juga dia tempuh sungai dingin yang sepi sendirian, seharian, dan haruslah pula berjalan kaki untuk sampai ke pusat Kabupaten. 2 jam dia biasa berjalan dari pinggir sungai menembus hutan yang tak tau ada makhluk seperti apa saja yang hidup didalamnya. Tapi mau bagaimana lagi? Membawa gaji, sama halnya dengan menjemput mati.

Oh…ya ada cerita, tentang Negara tetangga, bukan, bukan mereka yang mencari rakyat pribumi kita yang tangguh ini, tapi pikir saja, apa harus kita mencari Sembilan Bahan Pokok ke tempat yang lebih jauh, yang lebih tak masuk akal rasanya untuk dicapai dibandingkan dengan pasar tetangga yang ada di pinggir pagar sana? Bukan, bukan tak cinta tanah air, tapi taukah kalian? Bahwa nasionalis pun harus realistis? “biarlah garuda tetap didadaku, dan aku hidup dengan caraku”, begitu ujar mereka. Jadi bolehlah kiranya jika saya membalikkan pertanyaan “jangan tanyakan apa yang sudah anda beri pada negeri, tapi apa yang sudah negeri beri pada anda?”

http://ibrahimlubis.files.wordpress.com/2011/05/img00190-20100824-0915.jpg

Maka, hai para penguasa negeri, mengapa terlalu arogan mempertahankan negeri ini jika untuk mengurusinya saja tak mampu? Apa negeri ini terlalu besar untuk kau urusi? Atau kursi-kursi mahalmu terlalu nyaman untuk kau duduki sehingga sulit rasanya untuk tidak terlelap karenanya, dan membuka mata untuk melihat realita bangsa?

Pemimpin ibu pertiwi, janganlah sampai garuda yang sudah senang hinggap lama di dada mereka, malah terbang karena merasa tak disayang.

0 comments:

Posting Komentar