Apalah Kota, kalau bukan penduduknya (1)

6 Februari 2012 0 comments


 Ilustrasi : Gambar aktivitas kota Tokyo

“Kegunaan utama suatu kota dalam kehidupan adalah menyediakan lingkungan yang kreatif bagi masyarakat untuk hidup di dalamnya”.

Jika kita melihat perkembangan kota di tanah air; tentang pembangunannya; tentang kebijakannya; tentang tata guna lahan kotanya, maka pendapat yang dikemukakan oleh Lawrence Halprin tadi akan terasa sedikit-banyak menyinggung pembangunan yang sedang berlangsung di bumi pertiwi. Dewasa ini, banyak dari masyarakat yang malah tidak merasa nyaman berada di kotanya, mereka hanya tinggal, tapi tidak memiliki kota mereka sendiri. Bagaimana tidak, setiap kebijakan dan rencana-rencana yang dirancang oleh pemerintah masih belum purna  melibatkan masyarakat. Hal ini mungkin saja masih dipengaruhi kebiasaan yang terbawa dari era orde lama juga baru, dimana kekuasaan penuh berada di tangan pemilik kepentingan, pemerintah, sehingga dalam setiap keputusan yang diambil kurang atau mungkin tidak sama sekali melibatkan masyarakatnya. Bangsa ini sepertinya terlalu lama berada dalam genggaman penguasa yang memiliki basis militer. 32 tahun, waktu yang cukup lama untuk mengebalkan pemikiran para pemilik jabatan, waktu yang cukup pula untuk meng-anak-pinak-kan pemikiran dan kebiasaannya pada generasi dibawahnya. Pola pemerintahan militer sudah jelas hanya dengan dasar pemikiran dari para pimpinan saja, tidak peduli “prajurit”nya. Perencanaan “top-down” ternyata masih kental di benak para “pen-design kota”, metode yang seharusnya sudah ditinggalkan, karena betapapun hal yang diusulkan dan dirancang oleh para ahli arsitektur, perencana kota, pembuat kebijakan, hingga pemerintah itu baik (bagus) dari segi teoritis dan berwawasan ke depan (jangka panjang), namun hal tersebut sesungguhnya tidaklah benar-benar dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat, bisa jadi yang diinginkan oleh masyarakatnya berbeda 180 derajat dengan apa yang sudah direncanakan pemerintah, hal ini yang menjadi akar dari berbagai permasalahan yang akhirnya timbul dan menjadi masalah yang berlarut, dimana satu sisi pemerintah sudah men-sah-kan rencana-rencana pembangunannya, di sisi lain pemerintah harus segera mencari solusi dari masalah yang timbul, yang mana solusi yang paling tepat  adalah dengan merubah ulang rencana dan kebijakan yang sudah terlanjur mereka buat, dan akibatnya adalah rencana yang sia-sia.

“apalah kota, kalau bukan penduduknya”, sepertinya pernyataan yang disampaikan oleh sastrawan kenamaan dari Inggris ini, Shakespeare, memiliki makna yang mendalam dan dapat digunakan sebagai renungan bagi para “aktor-aktor kota”. Melihat lagi ke realita yang sedang terjadi  dalam lingkar kota, kini makna “penduduk” seolah hanya untuk mereka yang memiliki tingkat perekonomian yang stabil dan tinggi, berada di kalangan borjuis yang notabenenya juga sebagai kaum kapitalis penguasa pasar. Mereka yang sudah memiliki penghidupan yang layak, bahkan sangat-sangat layak lah yang dimanjakan oleh fasilitas-fasilitas kota, seolah mengangkat dagu dan tidak mau “sejajar” dengan masyarakat yang serba berkecukupan dan bahkan kekurangan. Perlebaran jalan, subsidi bahan bakar dan kemudahan dalam kepemilikan kendaraan pribadi adalah salah satunya, mereka yang memiliki “jalan” seolah mereka yang hanya memiliki kendaraan pribadi, sulit sekali menemukan tempat pejalan kaki yang nikmat, nyaman dan aman untuk digunakan, jalur-jalur yang biasa digunakan untuk para pejalan kaki (pedestrian)  banyak yang kurang terurus, begitupun dengan jalur-jalur lambat yang biasa digunakan untuk becak, andong dan beberapa jenis angkutan tradisional lain, kondisinya memprihatinkan. Jalan-jalan aspal-lah yang malah selalu dimanjakan dengan peremajaan, membuat nyaman para pengguna kendaraan pribadi yang tentu saja akhirnya akan menyuburkan populasi kepemilikan “mesin-mesin pribadi” tersebut di jalanan, masyarakat menengah kebawah semakin tergusur saja dari hak-haknya akan sebuah tempat tinggal, kota. 

 Ilustrasi : Gambar aktivitas ekonomi "kelas kecambah"

Fenomena lain yang perlu diperhatikan, dan yang seolah tidak akan ada habisnya adalah para pelaku Pedagang Kaki Lima (PKL), para pelaku ekonomi “kelas kecambah” ini selalu di nomer 2,3,4,5,6-kan atau mungkin dinomer 9999999-kan, di anak tirikan, bahkan mungkin tidak dianggap ada. Konotasinya selalu negatif, entah itu kumuhlah, semrawutlah, kotorlah dan sebagainya, tentu saja yang selalu berkaitan dengan sikap menyalahkan mereka. Lalu bagaimana dengan hak-hak mereka akan sebuah kota? Pemerintah, di satu sisi menyatakan bahwa PKL adalah pelaku ekonomi pelopor, namun di sisi lain justru malah di singkirkan dari wajah kota dengan alasan demi keindahan kota, lalu keindahan kota yang seperti apa? Para pelaku ekonomi “kelas kecambah” yang biasanya sudah menempati lokasi tertentu dengan waktu yang lama ini selalu membayar retribusi pajak, namun dengan tiba-tiba malah disuguhkan dengan himbauan untuk “membereskan” dagangannya atau “dibereskan” secara paksa oleh petugas ketertiban umum atau sekarang biasa dikenal dengan Satpol PP. Standar-standar keindahan kota terlalu bias, masyarakat pelaku ekonomi “kelas kecambah” ini seperti dipermainkan tak karuan, tentu saja mereka yang notabenenya sebagai masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah yang justru sebagai penduduk mayoritas, memiliki gap  yang semakin jauh saja dengan pemerintah, kalau sudah begini, apapun yang direncakan pemerintah tidak akan pernah “nyambung” dengan masyarakat, ditentang, karena tidak ada lagi rasa percaya dengan pemerintah dan rasa memiliki kota, atau malah yang lebih memprihatinkan adalah saat masyarakat menganggap pemerintah sebagai musuh masyarakat. 

# tunggu lanjutannya ya blogger :)

0 comments:

Posting Komentar