Udah setahun lebih tinggal di kontrakan Blok F5C ini, banyak
juga hal-hal absurd yang terjadi didalamnya mulai dari maen bola di ruang
tengah, buka pintu kamer pake tang, ada jamur kuping tumbuh di pintu WC,
kekeringan air minum sampe berminggu-minggu, sampe bikin mie instant (mie
rebus/goreng dan bukan pop mie) yang Cuma disiram pake aer dari dispenser.
Bersama dengan 2 orang senasip sepenanggungan dan 1 orang
senasip beda penanggungan, bisa juga hidup dalam satu atap. Kenapa bisa ada 1
orang yang senasip tapi beda penanggungan? Karena yang satu orang itu
tidak pernah merasakan bagaimana “indahnya” menjadi mahasiswa teknik. Oke,
baiklah, kenyataannya “indah” itu terbalik dengan yang dibayangkan. Dia jurusan
psikologi
Hidup di bumi jawa, tapi satu kontrakan gak ada yang bisa
bahasa jawa, apa mau dikata? Satu rumah gak ada orang jawanya. Saya dari Tasik
notabenenya sunda, temen sebelah kiri kamer saya orang Padang, temen yang
didepan-kamer-temen-yang-disebelah-kiri saya orang Tasik juga, temen satu SMA
malah, sedangkan temen sebelah kanan kamer saya adalah orang yang terbang
jauh-jauh dari bumi Sulawesi Tenggara, Kendari. Dengan demikian, fix, selama
kuliah di almamater yang sama, kita gagal kuasai bahasa jawa. Paling kalaupun
bisa, cuma bahasa-bahasa yang -yah kalian sendiri tau lah bagaimana- cuma segitu
saja.
Hidup sebagai mahasiswa yang serba pas, apalagi laki-laki, kalo
perut lapar, bagaimanapun makanan itu, pasti dimakan juga. Sama seperti yang
udah dijelaskan di atas, pemaksaan memasak mie instant dengan hanya disiram air
panas, padahal itu bukan pop mie, adalah salah satu kelakuan mahasiwa, yang
saya menyebutnya, terlalu lama tinggal di gua. Dan ritual semacam ini, sudah
berlangsung lama.
Sampai akhirnya, ritual sesat semacam itu harus berakhir
kemarin, saat salah seorang dari kami mandapat hidayah untuk meninggalkan
aliran “mie-siram”. Kompor dengan kekuatan api (ya iyalah) pun datang. Seperti manusia
purba yang selalu terobsesi dengan api, kompor yang notabenenya sebagai
pendatang baru di keluarga Blok F5C itu dilingkari oleh kami dengan antusiasme
tinggi. Simpel kok, Cuma pengen tau cara pake nya gimana. Dan ibarat film
kartun bisu “larva”, sontak setelah api berhasil dinyalakan, kita berteriak “HOOOOO!”
lengkap dengan ekspresi sang “larva” tentunya.
Sebenarnya alasan awal gak mau berkompromi dengan kompor
adalah, takut tabung gasnya berubah jadi mortir. Tapi ya sudahlah, kami selalu
berharap kompor bisa kerasan tinggal di sini, bisa bekerjasama dan diajak
berkompromi dalam membawa perubahan di bentuk makanan. Dan tentu saja, dalam
membawa peradaban.
0 comments:
Posting Komentar