Peradaban itu, bernama Kompor.

26 September 2012 0 comments


Udah setahun lebih tinggal di kontrakan Blok F5C ini, banyak juga hal-hal absurd yang terjadi didalamnya mulai dari maen bola di ruang tengah, buka pintu kamer pake tang, ada jamur kuping tumbuh di pintu WC, kekeringan air minum sampe berminggu-minggu, sampe bikin mie instant (mie rebus/goreng dan bukan pop mie) yang Cuma disiram pake aer dari dispenser. 

Bersama dengan 2 orang senasip sepenanggungan dan 1 orang senasip beda penanggungan, bisa juga hidup dalam satu atap. Kenapa bisa ada 1 orang yang senasip tapi beda penanggungan? Karena yang satu orang itu tidak pernah merasakan bagaimana “indahnya” menjadi mahasiswa teknik. Oke, baiklah, kenyataannya “indah” itu terbalik dengan yang dibayangkan. Dia jurusan psikologi

Hidup di bumi jawa, tapi satu kontrakan gak ada yang bisa bahasa jawa, apa mau dikata? Satu rumah gak ada orang jawanya. Saya dari Tasik notabenenya sunda, temen sebelah kiri kamer saya orang Padang, temen yang didepan-kamer-temen-yang-disebelah-kiri saya orang Tasik juga, temen satu SMA malah, sedangkan temen sebelah kanan kamer saya adalah orang yang terbang jauh-jauh dari bumi Sulawesi Tenggara, Kendari. Dengan demikian, fix, selama kuliah di almamater yang sama, kita gagal kuasai bahasa jawa. Paling kalaupun bisa, cuma bahasa-bahasa yang -yah kalian sendiri tau lah bagaimana- cuma segitu saja. 

Hidup sebagai mahasiswa yang serba pas, apalagi laki-laki, kalo perut lapar, bagaimanapun makanan itu, pasti dimakan juga. Sama seperti yang udah dijelaskan di atas, pemaksaan memasak mie instant dengan hanya disiram air panas, padahal itu bukan pop mie, adalah salah satu kelakuan mahasiwa, yang saya menyebutnya, terlalu lama tinggal di gua. Dan ritual semacam ini, sudah berlangsung lama.

Sampai akhirnya, ritual sesat semacam itu harus berakhir kemarin, saat salah seorang dari kami mandapat hidayah untuk meninggalkan aliran “mie-siram”. Kompor dengan kekuatan api (ya iyalah) pun datang. Seperti manusia purba yang selalu terobsesi dengan api, kompor yang notabenenya sebagai pendatang baru di keluarga Blok F5C itu dilingkari oleh kami dengan antusiasme tinggi. Simpel kok, Cuma pengen tau cara pake nya gimana. Dan ibarat film kartun bisu “larva”, sontak setelah api berhasil dinyalakan, kita berteriak “HOOOOO!” lengkap dengan ekspresi sang “larva” tentunya.

Sebenarnya alasan awal gak mau berkompromi dengan kompor adalah, takut tabung gasnya berubah jadi mortir. Tapi ya sudahlah, kami selalu berharap kompor bisa kerasan tinggal di sini, bisa bekerjasama dan diajak berkompromi dalam membawa perubahan di bentuk makanan. Dan tentu saja, dalam membawa peradaban.



0 comments:

Posting Komentar