25 September 2012 | 21.00 WIB | Yogyakarta.
Sejak kemunduran dinasti Ottoman dalam memegang tonggak kejayaan
peradaban Islam, kaum muslimin kian hari kian merosot eksistensinya dalam
kancah dunia. Mengisyaratkan bahwa hari ini roda itu masih berputar, dan umat
muslimin sedang berada di titik bawah putaran roda.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Abdulah Hakamshah, hari
ini kaum muslim terlalu mudah tersulut emosinya, tanpa melihat lagi
objektivitasnya, ataupun akar permasalahannya. Kaum muslim dirasa melihat agama
(dalam hal ini Islam) bukan lagi sesuatu yang bersifat al-din yang bersubstansi
keimanan, tetapi lebih kepada symbol keagamaan. Agama lebih diwujudkan sebagai
ritual jasmaniah semata, tidak lagi dialiri dengan nilai-nilai rohaniah,
akibatnya “innashalata tanha anilfahsya’i wal munkar”(QS. Al-Ankabut : 45), hanyalah
menjadi motto yang tertulis pada kertas yang “disucikan”, bukan lagi menjadi
sebenar-benar titah yang harus diamalkan atas firman Alllah. Hal lain adalah
keterikatan umat muslim terhadap agama lebih cenderung pada rasa emosional
ketimbang pada keimanan, sehingga terjadi pergeseran kearah fanatisme
buta yang didasari oleh luapan emosi saja.
“….hal yang
demikian menjerumuskan umat pada cara-cara pandang yang serba subjektif, egois,
emosional, bahkan anarkis. Dalam perspektif seperti inilah agama sebagai the
way of life akan jatuh pada posisi terendahnya.” Hakamshah, 2000.
Yang terkahir adalah adanya factor eksternalitas, yaitu
kalangan yang bermain dalam adegan pertikaian antar agama demi suatu
kepentingan. Tak perlu ditutupi, bahwa 3 agama besar yang sudah lama bersitegang
satu dengan yang lainnya adalah Islam, Kristen dan Yahudi. Namun terlepas dari
hal itu, masih banyak factor lain yang mungkin terlibat didalamnya, Wallahu a’lam
bisyawab .
Jika ditelisik dari sejarah perkembangan kaum muslimin
sendiri, pada awal kejayaannya, umat muslim selalu dibekali dengan semangat
jihad fii sabilillah dengan berharap keridhaan-Nya, yakni untuk memerangi perlawanan
yang jelas dari umat kafir dalam bentuk angkat senjata. Tata cara kehidupan
yang baik, bermoral, sederhana, egaliter dan tauhid merupakan modal awal tercapainya
kemenangan-kemenangan yang diraih. Umat muslim tidak (belum) dipusingkan dengan
beragam kehidupan dunia, akan tetapi sadar untuk bersibuk mencari bekal kembali
ke akhirat. Namun seiring perkembangannya,
saat kemenangan-kemenangan berhasil diraih, timbul rasa kebanggaan yang dulu
sempat hadir pada perang Uhud di zaman kepemimpinan Rasulullah SAW. Keresahan Khalifah
Abu Bakar tentang rakyat yang mulai meninggalkan pola hidup sederhana, dan
tidak lagi mendengar anjuran para ahli takwa (ulama), ternyata menjadi
kenyataan.
“Saksikanlah, umat mulai menjadikan kemenangan sebagai
ajang merebut kekayaan dan harta. Padahal bukan itu yang utama.” Khalifah Abu
Bakar dalam Tasaro, 2011.
Dalam upaya menyebar-luaskan ajaran Islam , sejarah berulang
pada saat berdirinya dinasti Ottoman (Usmaniah). Bisyarah Rasul SAW tentang
penaklukan konstantinopel yang akan ditaklukan umatnya, ternyata menjadi
penyemangat baru dalam menjadi pribadi muslimin yang terbaik.
“Sungguh, Konstantiopel akan ditaklukan oleh kalian,
maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah
pasukan yang menaklukannya.” Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam (HR. Ahmad).
Maka atas dasar itulah umat muslimin saling berlomba-lomba menjadi
pemimpin dan pasukan yang terbaik untuk dapat membebaskan kota Konstantinopel. Maka
ditangan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II) dan juga atas kehendak-Nya, bisyarah
Rasul SAW dapat terlaksana, konstantinopel berhasil diambil alih. Dalam upaya
pencapaian kemenangan atas Konstantinopel, bukanlah perkara yang mudah,
sebelumnya Sultan Murad II ayah Al-Fatih, juga melakukan invansi ke kota
konstantinopel namun belum berhasil, begitu pula dengan pemimpin muslim
sebelumnya. Sejarah panjang penaklukan terbesar pada zamannya merupakan sebuah
proses pembentukan pribadi yang sesuai dengan ajaran Islam secara kaffah, baik
oleh pemimpin dan pasukannya yaitu menjadikan Al-qur’an dan Hadist sebagai
penuntun kehidupan. Keteladanan, kesabaran, kecerdasan, keuletan, ketaatan,
ketakwaan dan inovasi, menjadi bekal untuk menghancurkan benteng lawan selama
kurang lebih 57 hari pengepungan.
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar