Sebuah Pemikiran (1)

26 September 2012 0 comments

25 September 2012 | 21.00 WIB | Yogyakarta.

Diskusi mingguan tentang “Racun Itu Bernama Agama?” dari artikel yang ditulis oleh Abdullah Hakamshah menggelitik untuk dibahas. Banyaknya pandangan sinis tentang Islam merupakan fenomena yang acapkali terjadi hari ini, mulai dari isu teroris, pelecehan Nabi, hijab, dan sebagainya.

Sejak kemunduran dinasti Ottoman dalam memegang tonggak kejayaan peradaban Islam, kaum muslimin kian hari kian merosot eksistensinya dalam kancah dunia. Mengisyaratkan bahwa hari ini roda itu masih berputar, dan umat muslimin sedang berada di titik bawah putaran roda.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Abdulah Hakamshah, hari ini kaum muslim terlalu mudah tersulut emosinya, tanpa melihat lagi objektivitasnya, ataupun akar permasalahannya. Kaum muslim dirasa melihat agama (dalam hal ini Islam) bukan lagi sesuatu yang bersifat al-din yang bersubstansi keimanan, tetapi lebih kepada symbol keagamaan. Agama lebih diwujudkan sebagai ritual jasmaniah semata, tidak lagi dialiri dengan nilai-nilai rohaniah, akibatnya “innashalata tanha anilfahsya’i wal munkar”(QS. Al-Ankabut : 45), hanyalah menjadi motto yang tertulis pada kertas yang “disucikan”, bukan lagi menjadi sebenar-benar titah yang harus diamalkan atas firman Alllah. Hal lain adalah keterikatan umat muslim terhadap agama lebih cenderung pada rasa emosional ketimbang pada keimanan, sehingga terjadi pergeseran kearah fanatisme buta yang didasari oleh luapan emosi saja. 

“….hal yang demikian menjerumuskan umat pada cara-cara pandang yang serba subjektif, egois, emosional, bahkan anarkis. Dalam perspektif seperti inilah agama sebagai the way of life akan jatuh pada posisi terendahnya.” Hakamshah, 2000.
Yang terkahir adalah adanya factor eksternalitas, yaitu kalangan yang bermain dalam adegan pertikaian antar agama demi suatu kepentingan. Tak perlu ditutupi, bahwa 3 agama besar yang sudah lama bersitegang satu dengan yang lainnya adalah Islam, Kristen dan Yahudi. Namun terlepas dari hal itu, masih banyak factor lain yang mungkin terlibat didalamnya, Wallahu a’lam bisyawab .

Jika ditelisik dari sejarah perkembangan kaum muslimin sendiri, pada awal kejayaannya, umat muslim selalu dibekali dengan semangat jihad fii sabilillah dengan berharap keridhaan-Nya, yakni untuk memerangi perlawanan yang jelas dari umat kafir dalam bentuk angkat senjata. Tata cara kehidupan yang baik, bermoral, sederhana, egaliter dan tauhid merupakan modal awal tercapainya kemenangan-kemenangan yang diraih. Umat muslim tidak (belum) dipusingkan dengan beragam kehidupan dunia, akan tetapi sadar untuk bersibuk mencari bekal kembali ke akhirat.  Namun seiring perkembangannya, saat kemenangan-kemenangan berhasil diraih, timbul rasa kebanggaan yang dulu sempat hadir pada perang Uhud di zaman kepemimpinan Rasulullah SAW. Keresahan Khalifah Abu Bakar tentang rakyat yang mulai meninggalkan pola hidup sederhana, dan tidak lagi mendengar anjuran para ahli takwa (ulama), ternyata menjadi kenyataan.

“Saksikanlah, umat mulai menjadikan kemenangan sebagai ajang merebut kekayaan dan harta. Padahal bukan itu yang utama.” Khalifah Abu Bakar dalam Tasaro, 2011.
Dalam upaya menyebar-luaskan ajaran Islam , sejarah berulang pada saat berdirinya dinasti Ottoman (Usmaniah). Bisyarah Rasul SAW tentang penaklukan konstantinopel yang akan ditaklukan umatnya, ternyata menjadi penyemangat baru dalam menjadi pribadi muslimin yang terbaik. 

“Sungguh, Konstantiopel akan ditaklukan oleh kalian, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukannya.” Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam (HR. Ahmad).
Maka atas dasar itulah umat muslimin saling berlomba-lomba menjadi pemimpin dan pasukan yang terbaik untuk dapat membebaskan kota Konstantinopel. Maka ditangan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II) dan juga atas kehendak-Nya, bisyarah Rasul SAW dapat terlaksana, konstantinopel berhasil diambil alih. Dalam upaya pencapaian kemenangan atas Konstantinopel, bukanlah perkara yang mudah, sebelumnya Sultan Murad II ayah Al-Fatih, juga melakukan invansi ke kota konstantinopel namun belum berhasil, begitu pula dengan pemimpin muslim sebelumnya. Sejarah panjang penaklukan terbesar pada zamannya merupakan sebuah proses pembentukan pribadi yang sesuai dengan ajaran Islam secara kaffah, baik oleh pemimpin dan pasukannya yaitu menjadikan Al-qur’an dan Hadist sebagai penuntun kehidupan. Keteladanan, kesabaran, kecerdasan, keuletan, ketaatan, ketakwaan dan inovasi, menjadi bekal untuk menghancurkan benteng lawan selama kurang lebih 57 hari pengepungan.

Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar