(baca Sebuah Pemikiran (1))
Perluasan-perluasan kekuasaan dan kejayaan Islam tidak hanya
berhenti di Konstantinopel, penaklukan juga sampai ke Serbia hingga ke tepi
sungai Danube yang berbatasan dengan Hungaria. Namun seperti yang dikatakan
sebelumnya, sejarah kembali terulang, baik pada masa kejayaannya, juga pada
masa kemundurannya. Dengan sifat manusia yang mudah berbangga, dan juga
terkikisnya nilai-nilai ke-Islaman mengakibatkan kejayaan yang dibangun mulai
mundur secara perlahan namun penuh kepastian. Perluasan dan
penaklukan-penalukan wilayah-wilayah yang belum terjamah oleh kaum muslimin bukan
lagi berdasarkan agama, apalagi Allah,
namun pada kebanggaan nasionalis dan egoisme, sehingga yang dihasilkan bukanlah
bentuk kedamaian namun kebencian. Adalah Kara Mustafa Pasha yang memimpin
ekspedisi penaklukan Wina, tetapi karena sedikit saja noda kesombongan itu
hinggap, maka rusaklah semua yang diharapkan. Pasukan muslim yang dipimpin Kara
Mustafa Pasha dipukul mundur sampai akhirnya dikepung oleh pasukan lawan di daerah Kahlenberg.
Sama halnya sperti hari ini, kilasan sejarah diatas hanya sebagai
intermezzo dari dinamika naik turunnya kemajuan peradaban Islam. Dewasa ini
umat muslim dihadapkan lagi dengan sikapnya yang mudah berbangga, gila harta,
gila dunia. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara pesat tanpa
diimbangi dengan ilmu agama, hanya menghasilkan mental-mental masyarakat yang
“cengeng”. Hari ini masyarakat menjadi pragmatis bahkan apatis terhadap agama
dikarenakan sejarah masa lalu yang menurut mereka terlalu sadis dan kejam, hal
ini dikarenakan kebiasaan-kebiasaan perang di masa lalu dianggap sebagai
sesuatu yang tidak beradap, kejam, sadis, berbeda dengan zaman sekarang yang
penuh dengan akademisi, hal-hal yang disengketakan akan mudah untuk memakai
cara persuasi atau bahkan intrik sama sekali, yang penting tidak menimbulkan
korban jiwa yg berlimpah dan hidup tenang.
Boleh kiranya saya katakan, kalau umat muslim masih merasa “shock” dengan kemunduran dari peradaban yang begitu pesat sampai sejauh
ini.Di Indonesia saja, Umat muslim yang
sudah menjadi mayoritas dari penduduknya terlalu terlena dengan
ke-mayoritas-sannya. Kemudahan dalam beragama dianggap terlalu biasa bahkan
sepele untuk dilaksanakan, sehingga kita baru bisa melihat kemayoritasan umat “Muslim”
daripada esensi Islam itu sendiri. Pesan-pesan dan ajaran yang disampaikan Nabi
seakan tidak “membumi”, dianggap hanya sebagai teori. Dengan adanya perasaan “shock” tadi, kaum muslimin merasa takut
pada pemberitaan-pemberitaan miring tentang agamanya, karena takut
kemayoritas-annya akan menurun, bukan lagi pada pendalaman agama agar bisa
menyebarkan Islam melalui jalan kedamaian, akhirnya munculah fanatisme yang
tidak sedikit berujung pada pelampiasan emosi dengan anarki. Padahal dengan
cara seperti itulah citra Islam sebagai pembawa kedamaian dan kebenaran semakin
merosot sampai ke titik terendahnya.
Bukan hanya itu, sekularisme dan pluralisme yang semakin
parah menggerogoti pola pikir kaum muslimin juga semakin hari semakin terlihat
hasilnya. Kesulitan membedakan antara budaya dan syariat, pluralisme dan
toleransi, juga kemudahan akan akses-akses duniawi (teknologi) adalah salah
satu factor penting penyebab carut marut
kehidupan beragama, khususnya di Indonesia. Adanya proses ini melahirkan
pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, umat mulai diintervensi pada konsep
pluralisme yang menganggap semua agama adalah sama, sehingga di payung agama
manapun kita berada, adalah sama, padahal bukan seperti itu adanya. Sejak zaman
Rasulullah SAW tidak pernah ada namanya konsep pluralisme sendiri, sangatlah
jelas perbedaan antara agama satu dengan yang lain, lagipula, jika konsep bahwa
semua agama adalah sama saja, untuk apa Rasulullah bersusah payah memperjuangkan
Islam? Menyeru pada jalan yang lurus? Kalaulah semua agama itu sama saja, kenapa
Rasul tidak beriman saja pada ajaran Kristiani atau Yahudi dulu? Jelas, ini
adalah konsep yang tidak masuk akal!
Rasulullah selalu mengedepankan toleransi bukan pluralisme, pada
kepemimpinannya, beliau menjamin keamanan dan kenyamanan umat beragama lain
untuk melakukan ibadahnya, lagipula amat jelas kiranya firman Allah yang
menyebutkan “lakum dinukum waliyadin”, bagimu agamamu, bagiku agamaku
(Al-Kafiiruun : 6). Tidak boleh ada pencampur-adukan agama, seperti halnya ikut
beribadah ke gereja, atau ikut dalam perayaan hari besar agama lain. Perkembangan
zaman, cepatnya arus globalisasi dan westernisasi menyebabkan umat muslim mulai
banyak menawar-nawar tentang ajaran agamanya sendiri.
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar