Sebuah Pemikiran (2)

26 September 2012 0 comments


(baca Sebuah Pemikiran (1))

Perluasan-perluasan kekuasaan dan kejayaan Islam tidak hanya berhenti di Konstantinopel, penaklukan juga sampai ke Serbia hingga ke tepi sungai Danube yang berbatasan dengan Hungaria. Namun seperti yang dikatakan sebelumnya, sejarah kembali terulang, baik pada masa kejayaannya, juga pada masa kemundurannya. Dengan sifat manusia yang mudah berbangga, dan juga terkikisnya nilai-nilai ke-Islaman mengakibatkan kejayaan yang dibangun mulai mundur secara perlahan namun penuh kepastian. Perluasan dan penaklukan-penalukan wilayah-wilayah yang belum terjamah oleh kaum muslimin bukan lagi berdasarkan agama, apalagi  Allah, namun pada kebanggaan nasionalis dan egoisme, sehingga yang dihasilkan bukanlah bentuk kedamaian namun kebencian. Adalah Kara Mustafa Pasha yang memimpin ekspedisi penaklukan Wina, tetapi karena sedikit saja noda kesombongan itu hinggap, maka rusaklah semua yang diharapkan. Pasukan muslim yang dipimpin Kara Mustafa Pasha dipukul mundur sampai akhirnya dikepung  oleh pasukan lawan di daerah Kahlenberg.  

Sama halnya sperti hari ini, kilasan sejarah diatas hanya sebagai intermezzo dari dinamika naik turunnya kemajuan peradaban Islam. Dewasa ini umat muslim dihadapkan lagi dengan sikapnya yang mudah berbangga, gila harta, gila dunia. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara pesat tanpa diimbangi dengan ilmu agama, hanya menghasilkan mental-mental masyarakat yang “cengeng”. Hari ini masyarakat menjadi pragmatis bahkan apatis terhadap agama dikarenakan sejarah masa lalu yang menurut mereka terlalu sadis dan kejam, hal ini dikarenakan kebiasaan-kebiasaan perang di masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang tidak beradap, kejam, sadis, berbeda dengan zaman sekarang yang penuh dengan akademisi, hal-hal yang disengketakan akan mudah untuk memakai cara persuasi atau bahkan intrik sama sekali, yang penting tidak menimbulkan korban jiwa yg berlimpah dan hidup tenang.  

Boleh kiranya saya katakan, kalau umat muslim masih merasa “shock” dengan kemunduran  dari peradaban yang begitu pesat sampai sejauh ini.Di Indonesia saja,  Umat muslim yang sudah menjadi mayoritas dari penduduknya terlalu terlena dengan ke-mayoritas-sannya. Kemudahan dalam beragama dianggap terlalu biasa bahkan sepele untuk dilaksanakan, sehingga kita baru bisa melihat kemayoritasan umat “Muslim” daripada esensi Islam itu sendiri. Pesan-pesan dan ajaran yang disampaikan Nabi seakan tidak “membumi”, dianggap hanya  sebagai teori. Dengan adanya perasaan “shock” tadi, kaum muslimin merasa takut pada pemberitaan-pemberitaan miring tentang agamanya, karena takut kemayoritas-annya akan menurun, bukan lagi pada pendalaman agama agar bisa menyebarkan Islam melalui jalan kedamaian, akhirnya munculah fanatisme yang tidak sedikit berujung pada pelampiasan emosi dengan anarki. Padahal dengan cara seperti itulah citra Islam sebagai pembawa kedamaian dan kebenaran semakin merosot sampai ke titik terendahnya.

Bukan hanya itu, sekularisme dan pluralisme yang semakin parah menggerogoti pola pikir kaum muslimin juga semakin hari semakin terlihat hasilnya. Kesulitan membedakan antara budaya dan syariat, pluralisme dan toleransi, juga kemudahan akan akses-akses duniawi (teknologi) adalah salah satu factor penting penyebab  carut marut kehidupan beragama, khususnya di Indonesia. Adanya proses ini melahirkan pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, umat mulai diintervensi pada konsep pluralisme yang menganggap semua agama adalah sama, sehingga di payung agama manapun kita berada, adalah sama, padahal bukan seperti itu adanya. Sejak zaman Rasulullah SAW tidak pernah ada namanya konsep pluralisme sendiri, sangatlah jelas perbedaan antara agama satu dengan yang lain, lagipula, jika konsep bahwa semua agama adalah sama saja, untuk apa Rasulullah bersusah payah memperjuangkan Islam? Menyeru pada jalan yang lurus? Kalaulah semua agama itu sama saja, kenapa Rasul tidak beriman saja pada ajaran Kristiani atau Yahudi dulu? Jelas, ini adalah konsep yang tidak masuk akal!

Rasulullah selalu mengedepankan toleransi bukan pluralisme, pada kepemimpinannya, beliau menjamin keamanan dan kenyamanan umat beragama lain untuk melakukan ibadahnya, lagipula amat jelas kiranya firman Allah yang menyebutkan “lakum dinukum waliyadin”, bagimu agamamu, bagiku agamaku (Al-Kafiiruun : 6). Tidak boleh ada pencampur-adukan agama, seperti halnya ikut beribadah ke gereja, atau ikut dalam perayaan hari besar agama lain. Perkembangan zaman, cepatnya arus globalisasi dan westernisasi menyebabkan umat muslim mulai banyak menawar-nawar tentang ajaran agamanya sendiri.

Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar