Dikerjai diri sendiri.

28 November 2012 0 comments

Malam, belum terlalu malam memang, tapi cukup pekat untuk bs berlari bebas tanpa cahaya lampu. Disini setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri, berlalu lalang seenaknya, tak usah susah payah pikirkan orang-orang disekelilingnya. 

Duduk di gerbong ke tiga, paling belakang pula dan isinya pun belum terlalu ramai dengan manusia-manusia yg tdk saya kenal, ah..dan entah kenapa kursi ini malah saling berhadapan dengan kursi didepannya, membuat wajah penumpang didepan saya terlalu jelas untuk dilihat. Dua lelaki didepan saya, yang satu tua, dan yang lain muda. Entah Ayah dan anak, atau entah siapanya. tidak peduli. datang pula ibu-ibu, mungkin sekitar 45 tahunan duduk berdampingan dengan saya. duduk semaunya, duduk menghadap kaca, dan langsung mengambil selimut kesayangannya untuk bersiap terlelap. dan sekali lagi, saya tidak peduli.


Di bagian kursi yang lain orang-orang masih sibuk memposisikan tempat duduknya, menyamankan tempat sempit yang disediakan penyedia jasa angkutan. ada yg melipat kakinya, ada merangkul lututnya, ada pula yang malas mengatur letak kakinya, dibiarkan begitu saja apa adanya.

peluit mulai melengking, dan si raksasa membalas dengan meniupkan terompetnya, bergegas membawa siapa saja yang masuk kedalam perutnya pergi dari tempatnya bermalas-malasan barang sejenak itu.

saya mulai memejamkan mata, hampir lupa dengan kejadian sebelumnya, kewalahan dengan permainan yang saya ciptakan sendiri, walau lebih tepatnya adalah kebodohan saya sendiri. nyaris batal pulang, padahal tiket sudah terlanjur dibeli satu minggu sebelumnya, tapi malam itu dalam hitungan menit saja, kertas yang ramai dengan tulisan itu jadi tak berguna, serupa daun kering saja. padahal, beberapa menit saja sebelumnya saya masih sempat melihat kereta itu melintas, bergerak seenaknya tanpa sempat berpamitan. Ya, saya terlambat sampai ke stasiun kelas ekonomi. 

bergegas dengan teman yang masih sudi menolong, dan tentu saja diawali dengan rengekan dan tampang memelas yang saya ciptakan dahulu, saya menuju stasiun yang lain. yah, karena lawannya adalah waktu, saya rela dibawa bersama kendaraan roda dua dengan sedikit bumbu kesetanan, di jalanan. 

sampai.
seperti orang kerasukan, berjalan dengan entah apa yang dipijaki oleh kaki sendiri. didalam pikiran hanya satu, saya harus pulang. sesampai di mulut gerbang masuk, ternyata masih banyak orang yang mungkin serupa saya, atau mungkin lebih parah, atau bisa jadi tidak sama sekali, masih terpaksa berdiri antri, mengular didepan bibir loket yang tak mau kompromi. dan disana, saya sadar, masih ada 1 perjuangan lagi tentu saja dengan kesetanan lagi, di jalanan lagi, saya lupa bawa uang. untungnya teman saya tadi mau menunggu, ingin memastikan saya hengkang dari kota ini dengan baik dan benar, menunggu aba-aba dari saya kalau semuanya OK. dan ternyata masih belum OK. dan seperti yang sudah saya katakan, kesetanan lagi, di jalanan, mencari mesin pintar yang siap meminjamkan uang. lalu kesetanan lagi, dijalanan lagi, menuju antrian loket yang ternyata mulai sepi.

bapak-bapak di depan tempat duduk saya menginjak kaki saya, lamunan buyar, dan saya jadi senyum sendiri mengingatnya. baru sekali ini ditinggal kereta, untungnya ekonomi. tapi setidaknya saya sadar satu hal, akan selalu ada pengorbanan yang mahal untuk setiap tujuan yang kita idamkan.

0 comments:

Posting Komentar