Gusar.

14 Desember 2012 0 comments


Ada yang gusar, saya pun demikian. Ada yang mulai mengganggu pikiran, tentang kontradiksi idealisme dengan sistem yang terlalu -orang menyebutnya- mainstream. Antara agama dan peradaban. Antara ideologi dan relasi sosial. Antara pemikiran dan, teman.

Bangun dari tidur yang gelap-gelap saja, minim mimpi, tak pakai bunga tidur. Entahlah, malam ini gusar sekali, atau mungkin galau, tapi bukan galau yang tentang cinta-cintaan melulu, untuk saya galau seperti itu, cemen. 

Ini tentang perabadan yang sering kita banggakan, dan agama. Bicara agama, sensitif memang. Hidup di tengah keberagaman agama memang bukan perkara mudah, tapi juga bukan lantas mem-“blender” semua ritual ajarannya dan “meminum”nya dengan dalih toleransi. Bukan, itu kelakuannya para pluralis, bukan sebuah toleransi. Cukup memberi kebebasan setiap pemeluk agama menjalankan ritual agamanya, tak perlu lah kita mengikutinya serta merta. Karena Tuhan memberikan pilihan dalam beragama, agar kita memilih, berfikir dan berproses untuk mencari agama mana yang sebenar- benar agama, pedoman bernafas di bumi, dan pengantar ketenangan setelah mati.

Ada kegelisahan dalam peradaban. Saat semua norma sosial dan agama yang sudah kita pelajari sejak dini, sekarang didepan mata malah diinjak dan ditindas seenaknya, dan kita cukup senang sebagai penonton. Disebelah mana sanksi sosial kalau judi itu dilarang? Disebelah mana sanksi sosial kalau melakukan perbuatan atas dasar suka sama suka tanpa ikatan yang sah itu adalah salah? Seperti apa sanksi sosialnya kalau pakaian yang minim itu tidak sopan? Apa salahnya jadi koruptor kalau masuk penjara sudah seperti masuk penginapan? Mau keluar dan masuk bisa sesuka hati, asal bayar semua bisa diatasi? Dan kenapa saling mengingatkan tentang kebaikan menjadi perkara yang hina sepetinya? Dipandang sinis dan dimusuhi?

Entahlah, semua pertanyaan ini tiba-tiba saja berkelindan, mungkin saya terlalu lama tidur siang, atau mungkin lupa makan bahkan sarapan.

Idealisme, apakah haram? Sampai-sampai kehidupan sepertinya terlalu tidak setuju dengan yang satu itu? Atau kita yang sudah terlalu “dalam” dimainkan oleh sistem yang salah? Jadi melihat yang seharusnya benar, malah menjadi sesuatu yang perlu dijauhkan, bahkan dimusnahkan.

Menantang mainstream, artinya harus siap dengan semua konsekuensinya. Jadi teringat sejarah Nabi besar yang selalu saya junjung, Muhammad SAW, saat pertama kali beliau menantang mainstream jahiliyah di tanah arab dulu. Memulai sesuatu yang dianggap asing oleh masyarakatnya. Sang idealis yang akhirnya berhasil mengubah dunia.

Karena setiap muslim menanggung beban untuk saling menasehati dalam hal kebaikan.

Jikalah memang harus terasing, ya terasinglah. Cukup terasing dari ciptaanNya, tapi jangan sampai terasing dari-Nya.


0 comments:

Posting Komentar