Ada yang gusar, saya pun demikian. Ada yang mulai mengganggu pikiran, tentang kontradiksi idealisme
dengan sistem yang terlalu -orang menyebutnya- mainstream. Antara agama dan
peradaban. Antara ideologi dan relasi sosial. Antara pemikiran dan, teman.
Bangun dari tidur yang gelap-gelap saja, minim mimpi, tak
pakai bunga tidur. Entahlah, malam ini gusar sekali, atau mungkin galau, tapi
bukan galau yang tentang cinta-cintaan melulu, untuk saya galau seperti itu,
cemen.
Ini tentang perabadan yang sering kita banggakan, dan agama.
Bicara agama, sensitif memang. Hidup di tengah keberagaman agama memang bukan
perkara mudah, tapi juga bukan lantas mem-“blender” semua ritual ajarannya dan “meminum”nya
dengan dalih toleransi. Bukan, itu kelakuannya para pluralis, bukan sebuah
toleransi. Cukup memberi kebebasan setiap pemeluk agama menjalankan ritual
agamanya, tak perlu lah kita mengikutinya serta merta. Karena Tuhan memberikan
pilihan dalam beragama, agar kita memilih, berfikir dan berproses untuk mencari
agama mana yang sebenar- benar agama, pedoman bernafas di bumi, dan pengantar
ketenangan setelah mati.
Ada kegelisahan dalam peradaban. Saat semua norma sosial dan
agama yang sudah kita pelajari sejak dini, sekarang didepan mata malah diinjak
dan ditindas seenaknya, dan kita cukup senang sebagai penonton. Disebelah mana
sanksi sosial kalau judi itu dilarang? Disebelah mana sanksi sosial kalau melakukan
perbuatan atas dasar suka sama suka tanpa ikatan yang sah itu adalah salah? Seperti
apa sanksi sosialnya kalau pakaian yang minim itu tidak sopan? Apa salahnya
jadi koruptor kalau masuk penjara sudah seperti masuk penginapan? Mau keluar
dan masuk bisa sesuka hati, asal bayar semua bisa diatasi? Dan kenapa saling
mengingatkan tentang kebaikan menjadi perkara yang hina sepetinya? Dipandang sinis
dan dimusuhi?
Entahlah, semua pertanyaan ini tiba-tiba saja berkelindan,
mungkin saya terlalu lama tidur siang, atau mungkin lupa makan bahkan sarapan.
Idealisme, apakah haram? Sampai-sampai kehidupan sepertinya
terlalu tidak setuju dengan yang satu itu? Atau kita yang sudah terlalu “dalam”
dimainkan oleh sistem yang salah? Jadi melihat yang seharusnya benar, malah menjadi
sesuatu yang perlu dijauhkan, bahkan dimusnahkan.
Menantang mainstream, artinya harus siap
dengan semua konsekuensinya. Jadi teringat sejarah Nabi besar yang selalu
saya junjung, Muhammad SAW, saat pertama kali beliau menantang mainstream
jahiliyah di tanah arab dulu. Memulai sesuatu yang dianggap asing oleh
masyarakatnya. Sang idealis yang akhirnya berhasil mengubah dunia.
Karena setiap muslim menanggung beban untuk saling
menasehati dalam hal kebaikan.
Jikalah memang harus terasing, ya terasinglah. Cukup terasing
dari ciptaanNya, tapi jangan sampai terasing dari-Nya.
0 comments:
Posting Komentar