Menanam Air (1)

25 Desember 2012 0 comments


Terbatasnya lahan di Jakarta, membuat pemerintah dan masyarakat ibukota pusing tak alang kepalang. Pasalnya lahan-lahan peruntukan ruang terbuka hijau di ibukota hari ini tidak lebih dari 15% dari luasan kota secara keseluruhan, hal yang kontra dengan Undang-Undang No 26 Tahun 2007  tentang Penataan Ruang, bahwa luasan ruang terbuka hijau kota harusnya mencapai paling sedikit 30% dari luasan kota.

Ruang terbuka hijau berguna sebagai daerah resapan air hujan agar  air yang turun dapat langsung diproses menjadi air tanah untuk memperkaya aquifer Jakarta. Lahan-lahan terbangun dengan nilai KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang tinggi membuat air yang jatuh, bingung mencari arah pulang yang semestinya langsung dia temukan saat turun ke bumi, sehingga akhirnya menciptakan nilai limpasan air yang besar. Parit, gorong-gorong, selokan dan sungai akhirnya dipaksa bekerja keras pada musim penghujan, besarnya limpasan air yang masuk ke dalam saluran drainase seharusnya bukan menjadi masalah yang berarti dalam menyalurkan air hujan ke sungai atau bahkan ke laut bila saja saluran drainage disposal  itu tidak dilengkapi dengan sampah.

Belum lagi kawasan ibukota yang berada pada daerah persisir pantai yang memiliki muka tanah rendah, diperparah dengan pembangunan massive bangunan-bangunan ber-massa mega, yang membuat muka tanah pada beberapa kawasan di Jakarta turun kurang lebih 9 cm dalam 10 tahun terakhir. Disamping itu, pemanasan suhu bumi karena adanya “virus” efek rumah kaca yang terjadi turut menciptakan terror baru untuk kota-kota yang berbatasan langsung dengan laut, termasuk Jakarta, yaitu pencairan es dikutub sehingga memaksa ketinggian air laut meningkat di setiap tahunnya.

Dari berbagai kompleksitas isu yang ditawarkan dari “Kota Batavia” ini muncul pula kompleksitas-kompleksitas masalah lain sebagai imbas (belum) tidak adanya penanganan yang serius dari ancaman-ancaman yang tidak bisa dianggap sebagai “bahan bercanda-an” ini oleh pemerintah kota. Dari masalah banjir saja yang setiap tahunnya tidak mau “absen” untuk menemani ibukota bisa menimbulkan masalah lain yang “tak kalah seru”nya. Tingkat urbanisasi yang parah menyebabkan pemusatan beban pertumbuhan populasi Jakarta yang sangat jauh berlebihan, akibatnya ibukota memerlukan keseimbangan antara jumlah populasi masyarakat dengan sarana-prasarana pendukungnya.  Namun ketidak (belum) siapan pemerintah dalam menyediakan layanan yang baik untuk masyarakat berimbas pada –salah satunya dari hal transportasi- pemilihan kendaraan pribadi oleh masyarakat sebagai bentuk moda transportasi yang paling masuk akal untuk menjalankan proses kehidupan di Jakarta. Penuhnya jalan-jalan ibukota dengan berbagai jenis kendaraan pribadi saja sudah menciptakan kongesti yang parah dalam rutinitas hari per hari nya, belum lagi ditambah dampak dari “pelit”nya RTH yang disediakan oleh pemerintah kota, dan masih membudaya-nya kebiasaan dalam menjadikan parit, selokan, dan sungai sebagai tong sampah raksasa, membuat hampir seluruh warga Jakarta menjadi “gila” karena traffic jam dan genangan air yang meruak dimana-mana.

Mungkin masyarakat kota terlalu disibukan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari yang selalu menuntut performa terbaik, sehingga bukan hal yang utama (penting) untuk memperhatikan kelangsungan kota, atau mungkin masyarakat sudah terlalu penat dan bosan dengan keluhan-keluhan mereka yang tak kunjung di dengar penguasa.

bersambung...

0 comments:

Posting Komentar