Kenyamanan itu untuk siapa?

13 Agustus 2011 0 comments

Disni, 3 tahun berusaha "menelan" makna K-O-T-A dan arti sebenarnya, saya jadi mulai tau banyak hal dan mulai mengerti, tentang kota, tentang manusia, tentang inginnya, tentang budayanya, dan kota, hakikatnya ada untuk melayani masyarakatnya sendiri, bukan untuk siapa-siapa, bukan untuk orang lain (asing).

Bicara soal Yogyakarta, kebetulan beberapa bulan kebelakang saya sempat main-main ke jantung kota Jogja, yak, Malioboro, yang terkenal padat itu, yang terkenal pedagang-pedagang di pinggir toko itu, yang bejejer di sepanjang jalannya. Jadi ingat perkataan teman saya, "buset! ini di malioboro udah segala ada aja nih, tukang pijit aja ada!", begitu katanya. Ya, Malioboro untuk sebagian orang memanglah unik, di kota yang kental dengan peninggalan penjajahan Belanda dan pengabdian masyarakatnya pada Kraton, mungkin akan menjadi kota budaya yang tidak dapat dijumpai lagi di kota-kota lain di Indonesia ini, namun ada pula sebagian orang yang memiliki sudut pandang lain akan hal ini, semrawut. Ada yang pro, ada juga yang kontra, mereka yang melihat dari sisi estetika perkotaan, tentulah akan menilai hal ini sebagai sesuatu yang "kumuh".

http://hangouto.com/wp-content/uploads/2011/05/malio.jpg


Boleh-boleh saja orang menilai "kesemrawutan" di Indonesia, khususnya di Jogja adalah suatu kekurangan, ya, tidak salah, itu  pandangan mereka yang mungkin  selalu mendambakan kenyamanan, namun coba pikirkan lagi, apakah dengan "kenyamanan" yang mereka inginkan itu dan semua yang mereka harapkan dan impikan akan menjamin terjaganya ciri khas suatu kota, ciri khas kota Jogja misalnya? Culture asli rakyat pribumi Jogja, mungkin sudah merasa nyaman dengan semua hal yang mereka rasakan sekarang, lalu kembali lagi, sebetulnya kenyamanan itu untuk siapa?

Kita tidak harus jadi pemerhati fisik saja, lalu menyambungkannya dengan social-comfort yang banyak diambil dari berbagai teori, tapi sebuah teori, jika tidak sesuai dan tidak bisa dipakai di lapangan, apalah arti teori tersebut? Rekayasa memang perlu tapi tidak untuk menghilangkan budaya aslinya, moral memang nomer satu, tapi bukan berarti merubah dan mengambil kekayaan sosialnya. Ekonomi dan Sistem, percuma saja kita melakukan pembangunan mercusuar tapi ekonomi rakyat masih merangkak, bukan landmark-nya yang harus dilihat dunia, tapi kematangan perekonomiannya untuk bersaing di dunia global. Menurut saya, jika sistem dilapangan bisa dirubah, dan dilakukan atas dasar musyawarah, baik pemilik kepentingan atau bukan, maka masyarakatnya pun lambat laun akan mengerti dan beradaptasi sehingga kenyamanan yang diharapkan oleh para "pemilik teori" dan masyarakat pribumi dapat padu, dan kesejahteraan pun bisa tercapai, insyaallah.

0 comments:

Posting Komentar