Si Naga. (1)

19 Juni 2012 0 comments


Ehem ehem… #benerintempatduduk, jadi udah pada tau belum tentang kampung yang menamakan dirinya sebagai Kampung Naga?


Jadi Kebetulan pas awal bulan kemarin sekalian saya pulang kampung, saya sempetin main ke kampung kental adat ini.  Perkampungan adat sunda, berada di daerah Tasikmalaya tetapi dekat pula dengan Garut. Perbatasan. Kurang lebih 30 km dari pusat kota Tasik, yah 1 sampai 2 jam lah perjalanan santai. Sebetulnya saya sendiri baru mulai denger-denger adanya kampung yang disebut-sebut dengan kampung naga waktu saya masih duduk di bangku SMP (saya lupa, saya pernah SMP gak ya?), waktu itu saya pikir kampung naga adalah kampung warga keturunan cina atau mungkin kampung Cina yang banyak ornamen warna merahnya, karna di pikiran saya yang namanya kampung naga itu ya banyak naganya, dan saya meng-imajinasi-kan naga itu ke dalam bentuk barongsai, dan tentu saja, saya salah.

Datang ke kota Tasik waktu kelas 5 SD, tapi baru kesampean maen ke kampung legendaris ini pas kuliah, kuliahnya di Jogja pula, ah ya sudahlah. Oke, jadi untuk menuju perkampungan naga ini kita harus melewati tangga yang…alamakkkk panjang niaaaannn….cukup melelahkan untuk orang yang terlalu terbiasa bercengkrama dengan kasur seperti saya, hmm baiklah saya pribadi menyebutnya “sangat melelahkan”. Untuk mencapai perkampungan ini selain menuruni anak tangga yang beranak pinak, kita juga harus menyusuri sungai Ciwulan.  Untuk turun kebawah dan menyaksikan pemandangan alam yang jauh dari ingar bingar kota, kita gak perlu takut dengan akses yang “primitif”, karena tangga panjang yang menghubungkan antara kampung naga dengan dunia lain eh luar ini sudah dipugar  sekitar tahun hmmm….2006 kalo gak salah (ampun kuncen kalo salah), yang dulunya berupa jalan setapak bebatuan berlapis tanah, kini sudah jadi batuan berlapis semen, insya Allah lebih aman dan nyaman.



Kampung naga ini punya 113 bangunan, dimana 110 bangunannya digunakan sebagai rumah warga dan sisanya digunakan untuk  bangunan adat. 113 bangunan sejak awal hingga kini, tidak mengalami penambahan dan pengurangan jumlah bangunan. Dengan tercatat ada 314 jiwa yang menetap di kampung ini, kurang lebih 4-5 orang yang tinggal dalam 1 rumah.

Hal yang unik dari perkampungan adat ini adalah,bentuk bangunan kuno yang terus dipertahankan, menggunakan bahan dasar kayu sebagai pondasinya, ijuk sebagai atapnya, dan anyaman bamboo sebagai dindingnya. Disamping itu, disini  gak boleh ada listrik. Jadi kalau masuk waktu malam, magrib deh misalnya, sumber penerangan hanya memakai senter sama lampu teplok. Gelep men.  Bentuk rumahnya adalah rumah panggung, kenapa coba rumah panggung hayo? Padahal gak pernah banjir loo… 


Ehem ehem #benerinlenganbaju, jadi dalam tradisi kampung naga ini, mereka haruslah bersahabat dengan alam. Bahan-bahan yang mereka gunakan untuk membangun rumah, bukan dari hutan di sekitar mereka, hutan-hutan disekitar mereka adalah hutan yang mereka keramatkan selain karena hal-hal yang bersifat mistis, mereka sadar, dengan membabat habis kekayaan hutan, kelak mereka sendirilah yang akan merasakan dampaknya (maklum, daerah tebing. Babat dikit bisa longsor ntar). Selain dengan keuntungan bangunan yang tidak bertambah dan tidak juga berkurang, mereka menggunakan bahan untuk memperbaiki rumahnya dari kebun yang mereka miliki, jadi sekali lagi, bukan dari hutan. Bentuk rumah panggung, sebetulnya bentuk rumah yang multifungsi dan menyatu dengan alam, setidaknya kesan seperti itu yang saya tangkap dari pemaparan mereka, karena bagian bawah rumah dapat difungsikan untuk menjadi tempat penyimpanan kayu bakar. Selain itu jika saat penjemuran hasil panen tiba-tiba turun hujan, hasil panen tadi bisa diselamatkan dibawah panggung rumah, disamping itu pula, bagian bawah rumah juga biasa mereka gunakan untuk beternak ayam, makanan ayamnya adalah dari sisa-sisa makanan yang yang jatuh didalam rumah. Jadi majikannya makan, ayamnya juga ikut makan, sama lapar dan sama kenyang.



bersambung euy...

0 comments:

Posting Komentar