Ehem ehem… #benerintempatduduk, jadi udah pada tau belum
tentang kampung yang menamakan dirinya sebagai Kampung Naga?
Jadi Kebetulan pas awal bulan kemarin sekalian saya pulang
kampung, saya sempetin main ke kampung kental adat ini. Perkampungan adat sunda, berada di daerah
Tasikmalaya tetapi dekat pula dengan Garut. Perbatasan. Kurang lebih 30 km dari
pusat kota Tasik, yah 1 sampai 2 jam lah perjalanan santai. Sebetulnya saya
sendiri baru mulai denger-denger adanya kampung yang disebut-sebut dengan
kampung naga waktu saya masih duduk di bangku SMP (saya lupa, saya pernah SMP
gak ya?), waktu itu saya pikir kampung naga adalah kampung warga keturunan cina
atau mungkin kampung Cina yang banyak ornamen warna merahnya, karna di pikiran
saya yang namanya kampung naga itu ya banyak naganya, dan saya meng-imajinasi-kan
naga itu ke dalam bentuk barongsai, dan tentu saja, saya salah.
Datang ke kota Tasik waktu kelas 5 SD, tapi baru kesampean
maen ke kampung legendaris ini pas kuliah, kuliahnya di Jogja pula, ah ya
sudahlah. Oke, jadi untuk menuju perkampungan naga ini kita harus melewati
tangga yang…alamakkkk panjang niaaaannn….cukup melelahkan untuk orang yang terlalu
terbiasa bercengkrama dengan kasur seperti saya, hmm baiklah saya pribadi
menyebutnya “sangat melelahkan”. Untuk mencapai perkampungan ini selain
menuruni anak tangga yang beranak pinak, kita juga harus menyusuri sungai
Ciwulan. Untuk turun kebawah dan
menyaksikan pemandangan alam yang jauh dari ingar bingar kota, kita gak perlu
takut dengan akses yang “primitif”, karena tangga panjang yang menghubungkan
antara kampung naga dengan dunia lain eh luar ini sudah dipugar sekitar tahun hmmm….2006 kalo gak salah
(ampun kuncen kalo salah), yang dulunya berupa jalan setapak bebatuan berlapis
tanah, kini sudah jadi batuan berlapis semen, insya Allah lebih aman dan nyaman.
Kampung naga ini punya 113 bangunan, dimana 110 bangunannya
digunakan sebagai rumah warga dan sisanya digunakan untuk bangunan adat. 113 bangunan sejak awal hingga
kini, tidak mengalami penambahan dan pengurangan jumlah bangunan. Dengan tercatat
ada 314 jiwa yang menetap di kampung ini, kurang lebih 4-5 orang yang tinggal
dalam 1 rumah.
Hal yang unik dari perkampungan adat ini adalah,bentuk
bangunan kuno yang terus dipertahankan, menggunakan bahan dasar kayu sebagai
pondasinya, ijuk sebagai atapnya, dan anyaman bamboo sebagai dindingnya.
Disamping itu, disini gak boleh ada
listrik. Jadi kalau masuk waktu malam, magrib deh misalnya, sumber penerangan
hanya memakai senter sama lampu teplok. Gelep men. Bentuk rumahnya adalah rumah panggung, kenapa
coba rumah panggung hayo? Padahal gak pernah banjir loo…
Ehem ehem
#benerinlenganbaju, jadi dalam tradisi kampung naga ini, mereka haruslah
bersahabat dengan alam. Bahan-bahan yang mereka gunakan untuk membangun rumah,
bukan dari hutan di sekitar mereka, hutan-hutan disekitar mereka adalah hutan
yang mereka keramatkan selain karena hal-hal yang bersifat mistis, mereka
sadar, dengan membabat habis kekayaan hutan, kelak mereka sendirilah yang akan
merasakan dampaknya (maklum, daerah tebing. Babat dikit bisa longsor ntar).
Selain dengan keuntungan bangunan yang tidak bertambah dan tidak juga
berkurang, mereka menggunakan bahan untuk memperbaiki rumahnya dari kebun yang
mereka miliki, jadi sekali lagi, bukan dari hutan. Bentuk rumah panggung,
sebetulnya bentuk rumah yang multifungsi dan menyatu dengan alam, setidaknya kesan
seperti itu yang saya tangkap dari pemaparan mereka, karena bagian bawah rumah
dapat difungsikan untuk menjadi tempat penyimpanan kayu bakar. Selain itu jika
saat penjemuran hasil panen tiba-tiba turun hujan, hasil panen tadi bisa
diselamatkan dibawah panggung rumah, disamping itu pula, bagian bawah rumah
juga biasa mereka gunakan untuk beternak ayam, makanan ayamnya adalah dari
sisa-sisa makanan yang yang jatuh didalam rumah. Jadi majikannya makan, ayamnya
juga ikut makan, sama lapar dan sama kenyang.
bersambung euy...
0 comments:
Posting Komentar